Kamis, 20 November 2014

Skema Penjajahan Asing di Dunia Kesehatan Indonesia

11.17



Oleh
Azmi Fajar Maulana[1]

Materi disampaikan pada Simposium Nasional Advance Training of Public Health (AToPH) Teknik Advokasi, Manajemen Isu, Diplomasi, dan Negosiasi 
10 November 2014 di Baturaden Banyumas Jawa Tengah

Pendahuluan
Setiap warga negara, mempunyai hak dasar yang melekat pada dirinya untuk mendapatkan pemeliharaan hidup oleh negara, termasuk memelihara kesehatan, sebagaimana dijamin dalam konstitusi dasar negara, UUD `45, Pasal 28 H. Namun di Indonesia hak demokratis akan kesehatan kini dirampas. Masih banyak anak Indonesia yang kekurangan gizi (malnutrisi) yaitu meningkat dari 15 persen menjadi 17 persen (Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, 2013). Bahkan Pada tahun 2012, Indonesia Negara kekurangan gizi nomor 5 di dunia[2]. Bank Dunia tahun 2013 mencatat 383 kecamatan belum memiliki puskesmas saat ini. Artinya, sebanyak 6,2 juta jiwa penduduk Indonesia tidak memiliki akses terhadap fasilitas pelayanan kesehatan dasar. Di level lebih tinggi, masih ada 42 kabupaten yang belum memiliki rumah sakit. Itu berarti ada 36 juta penduduk Indonesia yang tak punya akses terhadap fasilitas kesehatan sekunder[3].
Liberalisasi telah merambah dunia kesehatan, sehingga orientasi pelayanan kesehatan yakni yang secara hakikat merupakan hak kemanusiaan namun kini dikesampingkan sehingga sekarang menjadi orientasi ke arah pasar (market orientation). Liberalisasi kesehatan tidak sepenuhnya terjadi, namun yang terjadi adalah monopoli oleh korporasi farmasi dunia, sehingga obat-obatan tidak hanya diproduksi untuk mengatasi penyakit, namun untuk akumulasi keuntungan korporasi. Padahal, seperti yang kita ketahui bersama jika kesehatan merupakan sebuah hak serta kebutuhan yang menyangkut hajat hidup orang banyak sehingga kesehatan diperlukan oleh setiap masyarakat.
Pemerintah dalam hal ini merupakan otoritas tertinggi yang menjalankan setiap roda pemerintahan dengan pengambilan kebijakan untuk masyarakat salah satunya adalah dalam pengambilan kebijakan kesehatan. Dalam konteks menyangkut pemerintah di sini adalah pemerintah merupakan pemberi kebijakan mengenai kesehatan kepada masyarakat agar masyarakat mendapat pelayanan kesehatan yang memadai dan terjangkau bagi masyarakat. Namun pada realita saat ini, kebijakan pemerintah dalam sektor kesehatan tersebut hanyalah semata-mata patuh kepada Imperialisme Amerika Serikat yang menguasai organisasi-organisasi Dunia seperti WTO, WHO, World Bank, PBB serta IMF itulah kenapa Indonesia merupakan Negara Setengah Jajahan dan Setengah Feodal.
Berikut ini Skema Ekonomi Politik penjajahan Imperialisme dalam dunia Kesehatan :

Kapitalisme Monopoli di Dunia Kesehatan
WTO : Liberalisasi Kesehatan
WTO (World Trade Organization), didirikan pada tahun 1994, merupakan agen baru perdagangan global yang berkuasa, yang telah mengubah GATT (Perjanjian Bea-Masuk dan Perdagangan) menjadi sebuah perjanjian yang mampu memaksakan perdagangan global. WTO adalah salah satu mekanisme utama dari globalisasi korporasi. Pendukungnya mengatakan bahwa WTO berdasarkan pada ‘perdagangan bebas’ (free-trade). WTO merupakan bentuk penjajahan gaya baru (imperialisme) terhadap negara-negara seperti Indonesia dengan skema regulasi (undang-undang) yang tak berpihak pada Rakyat serta Lingkungan. Indonesia sudah meratifikasi perjanjian-perjanjian WTO termasuk GATS  dengan UU No.7 tahun 1994. Kepentingan Publik (Kesehatan) dikorbankan demi kepentingan perdagangan dengan mengubah hak kolektif rakyat Indonesia menjadi hak privat.
            GATS (General Agreement on Trade in Services atau Perjanjian Perdagangan Jasa) adalah salah satu dari 15 Perjanjian Putaran Uruguay yang diwajibkan oleh WTO. 12 Sektor jasa yang menjadi perjanjian (Liberalisasi) adalah Cakupan GATS adalah semua sektor jasa, dalam perjanjian disebutkan minimal ada 12 sektor yang terdiri atas yaitu: 1) Jasa bisnis termasuk jasa professional dan jasa computer. 2) Jasa komunikasi. 3) Jasa konstruksi dan teknik terkait 4)Jasa distribusi 5) Jasa pendidikan 6) Jasa lingkungan 7) Jasa keuangan (termasuk asuransi dan perbankan) 8) Jasa kesehatan dan sosial 9) Jasa wisata dan perjalanan 10) Jasa rekreasi, budaya dan olah raga 11) Jasa transportasi 12) Jasa-jasa lainya kecuali jasa non komersil.
            Liberalisasi Kesehatan dapat dilihat dengan semakin dikuranginya peran negara terhadap sektor Kesehatan. Seperti diterbitkannya PP Nomor 23 Tahun 2005 tentang Pengelolaan Keuangan Badan Layanan Umum, membuat seperti jasa layanan kesehatan seperti Rumah Sakit (Privat/Publik), mempunyai wewenang badan otoritas secara manajemen keuangan dan berhak memungut tarif layanan kesehatan dan mempunyai Bisnis-bisnis sehingga Komersialisasi-pun ada di dunia Kesehatan. Selain itu Liberalisasi bisa dilihat dari kebijakan SJSN dan BPJS yang berasal dari Hutang Luar Negeri.

Monopoli Obat-obatan
Large firms in the healthcare sector in Japan and the United States are looking for opportunities in Southeast Asia”[4]. (Perusahaan Besar di sektor pelayanan Kesehatan yang berasal dari Jepang dan Amerika melihat kesempatan pasar di Asia Tenggara)

            Menurut data dari Pharm Exec tahun 2012, 50 besar korporasi teratas di Dunia di bidang farmasi seperti Pfizer, Novartis, Merck, Sanofi, Roche, GlaxoSmithKline, Astra Zaneka, Johnson & Jonshon, Abbott, Eli Lilly memperoleh keuntungan yang sangat luar biasa yaitu sebesar $610 Miliar hanya dalam kurun waktu tahun 2012, dan cakupan pasarnya seluruh dunia termasuk Indonesia. Obat-obatan yang dikomersialisasikan oleh kapitalis monopoli farmasi ini sebelumnya telah mendapat lisensi atau di legalkan oleh badan yang berwenang mengawasi obat. Biasanya, pabrik farmasi akan mengkomersilkan obat buatan mereka yaitu berupa obat-obatan yang memiliki kegunaan praktis untuk penyakit-penyakit ringan seperti batuk, flu, demam, pusing, sakit perut dan lain-lain. Dan untuk obat-obat untuk penyakit berat seperti dicontohkan Vaksin HIV (ARV) menjadi ladang bisnis para Kapitalis Monopoli Asing.
            Permainan Kapitalis Monopoli bisa dilihat dari perdebatan tentang Undang-undang Tembakau. Monopoli pasar tembakau yang sebagian besar adalah penopang dari APBN berupa Cukai Namun disisi lain WHO dengan ditopang oleh kapitalis monopoli farmasi Internasional mencoba menggugat UU Tembakau dengan dalih merusak kesehatan dsb. Dalam hal ini negara yang mempunyai wewenang regulasi mengambil jalan tengah di antara korporasi farmasi Internasional dan Korporasi perindustrian Rokok dengan hanya mencantumkan “Rokok dapat Membunuhmu”. Permainan pasar antara industri farmasi dan industri tembakau memang sudah banyak terjadi di Amerika, Eropa dan Asia.

Pemerintah
Dalam APBN 2011, kesehatan rakyat hanya mendapat anggaran sebesar 2,3%. Padahal, UU Nomor 36 tahun 2009 tentang Kesehatan mengharuskan anggaran kesehatan paling minimal 5 persen. Anggaran itu pun sebetulnya menurun dari Rp19,8 triliun menjadi Rp13,6 triliun. Pada APBN 2012, situasinya bertambah buruk : anggaran kesehatan hanya dialokasikan sebesar Rp 14,4 triliun atau 1% dari belanja negara[5]. Padahal, dengan biaya kesehatan yang sangat minim, akan semakin banyak rakyat Indonesia yang tidak bisa mengakses kesehatan.
Liberalisasi Kesehatan yang dilakukan pemerintah lainnya yaitu berupa rencana pemerintah mengalihkan layanan kesehatan pada mekanisme pasar. Mekanisme Pasar ini dari pengadaan obat, rumah sakit bertaraf Internasional, Hak kekayaan Intelektual dan BPJS (Badan Penyelenggara Jaminan Sosial Kesehatan) dan SJSN (Sistem Jaminan Sosial Nasional). Utang luar negeri (ULN) Indonesia pada Januari 2014 tercatat USD 269,3 miliar setiap tahunnya naik secara drastis[6]. Minimnya anggaran pemerintah terhadap sektor kesehatan membuat sektor kesehatan menjadi lahan empuk dengan suntikan dana hutang Imperialisme Amerika Serikat sebagai pendonor terbesar hutang Indonesia. Selain itu penjajahan di dunia kesehatan bisa dilihat dari sangat mahalnya biaya pendidikan di Fakultas kedokteran sehingga rakyat tidak mampu mengaksesnya. Bahkan biaya kuliah di Kedokteran mencapai 500 Juta[7]. Hal ini berakibat pada sedikitnya tenaga kesehatan atau dokter di Indonesia bahkan dari data WHO (World Health Organization) pada tahun 2013 Rasio Dokter dan Penduduk Indonesia terburuk di Asia Tenggara dengan rasio 3 Dokter untuk 10.000 penduduk[8]. Mahalnya menjadi dokter membuat orientasi Dokter-dokter Indonesia bukan pada pengabdiannya pada rakyat Indonesia, melainkan pada kepentingan pasar yaitu mencari keuntungan sebanyak-banyaknya dan menjual obat semahal-mahalnya.
Pemerintah dalam hal ini sebagai pembuat, perencana dan pelaksana regulasi yang berorientasi pada Pasar, obat-obat serta alat kesehatan dan pasar tenaga kerja farmasi serta negara tujuan Utang dengan dalih pembangunan kesehatan.  


[1] . Staf Departemen Pendidikan dan Propaganda Front Mahasiswa Nasional Cabang Purwokerto
[2]. http://www.indonesiafightpoverty.com/2014/04/01/indonesia-masih-dihantui-kasus-gizi-buruk/ diakses pada 8 November 2014
[3]. http://indonesia.ucanews.com/2013/01/23/62-juta-warga-indonesia-tidak-memiliki-akses-kesehatan/ diakses pada 8 November 2014
[4]. www.pharmexasia.com/aec-holds-huge-opportunities-for-pharmaceutical-industry-in-southeast-asia/ diakses pada 8 November 2014
[6] . http://www.bi.go.id/id/ruang-media/info-terbaru/Pages/Utang-Luar-Negeri-Indonesia-Januari-2014.aspx diakses pada tanggal 8 November 2014
[7] . http://www.jawapos.com/baca/artikel/2020/Jadi-Dokter-Siapkan-Rp-500-Juta diakses pada 13 November 2014
[8] . http://health.liputan6.com/read/538536/rasio-dokter-dan-penduduk-indonesia-paling-buruk-se-asean Diakses pada 13 November 2014

Written by

We are Creative Blogger Theme Wavers which provides user friendly, effective and easy to use themes. Each support has free and providing HD support screen casting.

0 komentar:

Posting Komentar

 

© 2013 azmyfajar. All rights resevered. Designed by Templateism

Back To Top