Oleh
Azmi Fajar
Maulana[1]
Materi
disampaikan pada Simposium Nasional Advance
Training of Public Health (AToPH) “Teknik Advokasi, Manajemen Isu, Diplomasi, dan
Negosiasi”
10 November 2014 di Baturaden Banyumas Jawa Tengah
Pendahuluan
Setiap
warga negara, mempunyai hak dasar yang melekat pada dirinya untuk mendapatkan
pemeliharaan hidup oleh negara, termasuk memelihara kesehatan, sebagaimana
dijamin dalam konstitusi dasar negara, UUD `45, Pasal 28 H. Namun di Indonesia hak demokratis akan kesehatan kini
dirampas. Masih banyak anak
Indonesia yang kekurangan gizi (malnutrisi) yaitu meningkat dari 15 persen
menjadi 17 persen (Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak,
2013). Bahkan Pada tahun 2012, Indonesia Negara kekurangan gizi nomor 5 di
dunia[2]. Bank
Dunia tahun 2013 mencatat 383 kecamatan belum memiliki puskesmas saat ini.
Artinya, sebanyak 6,2 juta jiwa penduduk Indonesia tidak memiliki akses
terhadap fasilitas pelayanan kesehatan dasar. Di level lebih tinggi, masih ada
42 kabupaten yang belum memiliki rumah sakit. Itu berarti ada 36 juta penduduk
Indonesia yang tak punya akses terhadap fasilitas kesehatan sekunder[3].
Liberalisasi telah
merambah dunia kesehatan, sehingga orientasi pelayanan kesehatan
yakni yang secara hakikat merupakan hak kemanusiaan namun kini dikesampingkan
sehingga sekarang menjadi orientasi ke arah pasar (market orientation). Liberalisasi kesehatan tidak sepenuhnya
terjadi, namun yang terjadi adalah monopoli oleh korporasi farmasi dunia,
sehingga obat-obatan tidak hanya diproduksi untuk mengatasi penyakit, namun
untuk akumulasi keuntungan korporasi. Padahal, seperti yang kita ketahui
bersama jika kesehatan
merupakan sebuah hak serta kebutuhan yang menyangkut hajat hidup orang banyak
sehingga kesehatan diperlukan oleh setiap masyarakat.
Pemerintah
dalam hal ini merupakan otoritas tertinggi yang menjalankan setiap roda
pemerintahan dengan pengambilan kebijakan untuk masyarakat salah satunya adalah
dalam pengambilan kebijakan kesehatan. Dalam konteks menyangkut pemerintah di
sini adalah pemerintah merupakan pemberi kebijakan mengenai kesehatan kepada
masyarakat agar masyarakat mendapat pelayanan kesehatan yang memadai dan
terjangkau bagi masyarakat. Namun pada realita saat ini, kebijakan pemerintah
dalam sektor kesehatan tersebut hanyalah semata-mata patuh kepada Imperialisme
Amerika Serikat yang menguasai organisasi-organisasi Dunia seperti WTO, WHO,
World Bank, PBB serta IMF itulah kenapa Indonesia merupakan Negara Setengah Jajahan dan Setengah Feodal.
Berikut ini Skema
Ekonomi Politik penjajahan Imperialisme dalam dunia Kesehatan :
Kapitalisme
Monopoli di Dunia Kesehatan
WTO : Liberalisasi Kesehatan
WTO (World Trade Organization),
didirikan pada tahun 1994, merupakan agen baru perdagangan global yang
berkuasa, yang telah mengubah GATT (Perjanjian Bea-Masuk dan Perdagangan)
menjadi sebuah perjanjian yang mampu memaksakan perdagangan global. WTO adalah salah
satu mekanisme utama dari globalisasi korporasi. Pendukungnya mengatakan bahwa
WTO berdasarkan pada ‘perdagangan bebas’ (free-trade).
WTO merupakan bentuk penjajahan gaya baru (imperialisme) terhadap negara-negara
seperti Indonesia dengan skema regulasi (undang-undang) yang tak berpihak pada
Rakyat serta Lingkungan. Indonesia sudah meratifikasi perjanjian-perjanjian WTO
termasuk GATS dengan UU No.7 tahun 1994. Kepentingan Publik (Kesehatan)
dikorbankan demi kepentingan perdagangan dengan mengubah hak kolektif rakyat
Indonesia menjadi hak privat.
GATS
(General Agreement on Trade in Services
atau Perjanjian Perdagangan Jasa) adalah salah satu dari 15 Perjanjian
Putaran Uruguay yang diwajibkan oleh WTO. 12 Sektor jasa yang menjadi
perjanjian (Liberalisasi) adalah Cakupan GATS adalah semua sektor jasa, dalam
perjanjian disebutkan minimal ada 12 sektor yang terdiri atas yaitu: 1) Jasa
bisnis termasuk jasa professional dan jasa computer. 2) Jasa komunikasi. 3)
Jasa konstruksi dan teknik terkait 4)Jasa distribusi 5) Jasa pendidikan 6) Jasa
lingkungan 7) Jasa keuangan (termasuk asuransi dan perbankan) 8) Jasa
kesehatan dan sosial 9) Jasa wisata dan perjalanan 10) Jasa rekreasi,
budaya dan olah raga 11) Jasa transportasi 12) Jasa-jasa lainya kecuali jasa
non komersil.
Liberalisasi
Kesehatan dapat dilihat dengan semakin dikuranginya peran negara terhadap
sektor Kesehatan. Seperti diterbitkannya PP Nomor 23 Tahun 2005 tentang
Pengelolaan Keuangan Badan Layanan Umum, membuat seperti jasa layanan kesehatan
seperti Rumah Sakit (Privat/Publik), mempunyai wewenang badan otoritas secara
manajemen keuangan dan berhak memungut tarif layanan kesehatan dan mempunyai
Bisnis-bisnis sehingga Komersialisasi-pun ada di dunia Kesehatan. Selain itu
Liberalisasi bisa dilihat dari kebijakan SJSN dan BPJS yang berasal dari Hutang
Luar Negeri.
Monopoli
Obat-obatan
“Large firms in the healthcare sector in Japan and the United States are
looking for opportunities in Southeast Asia”[4].
(Perusahaan Besar di sektor pelayanan Kesehatan yang berasal dari Jepang dan
Amerika melihat kesempatan pasar di Asia Tenggara)
Menurut data dari Pharm Exec tahun 2012, 50 besar
korporasi teratas di Dunia di bidang farmasi seperti Pfizer, Novartis, Merck,
Sanofi, Roche, GlaxoSmithKline, Astra Zaneka, Johnson & Jonshon, Abbott,
Eli Lilly memperoleh keuntungan yang sangat luar biasa yaitu sebesar $610 Miliar
hanya dalam kurun waktu tahun 2012, dan cakupan pasarnya seluruh dunia termasuk
Indonesia. Obat-obatan yang dikomersialisasikan oleh kapitalis monopoli farmasi
ini sebelumnya telah mendapat lisensi atau di legalkan oleh badan yang
berwenang mengawasi obat. Biasanya, pabrik farmasi akan mengkomersilkan obat
buatan mereka yaitu berupa obat-obatan yang memiliki kegunaan praktis untuk
penyakit-penyakit ringan seperti batuk, flu, demam, pusing, sakit perut dan
lain-lain. Dan untuk obat-obat untuk penyakit berat seperti dicontohkan Vaksin
HIV (ARV) menjadi ladang bisnis para Kapitalis Monopoli Asing.
Permainan Kapitalis Monopoli bisa
dilihat dari perdebatan tentang Undang-undang Tembakau. Monopoli pasar tembakau
yang sebagian besar adalah penopang dari APBN berupa Cukai Namun disisi lain
WHO dengan ditopang oleh kapitalis monopoli farmasi Internasional mencoba
menggugat UU Tembakau dengan dalih merusak kesehatan dsb. Dalam hal ini negara
yang mempunyai wewenang regulasi mengambil jalan tengah di antara korporasi
farmasi Internasional dan Korporasi perindustrian Rokok dengan hanya
mencantumkan “Rokok dapat Membunuhmu”. Permainan pasar antara industri farmasi
dan industri tembakau memang sudah banyak terjadi di Amerika, Eropa dan Asia.
Pemerintah
Dalam APBN 2011,
kesehatan rakyat hanya mendapat anggaran sebesar 2,3%. Padahal, UU Nomor
36 tahun 2009 tentang Kesehatan mengharuskan anggaran kesehatan paling minimal
5 persen. Anggaran itu pun sebetulnya menurun dari Rp19,8 triliun menjadi
Rp13,6 triliun. Pada APBN 2012, situasinya bertambah buruk : anggaran kesehatan
hanya dialokasikan sebesar Rp 14,4 triliun atau 1% dari belanja negara[5].
Padahal, dengan biaya kesehatan yang sangat minim, akan semakin banyak rakyat
Indonesia yang tidak bisa mengakses kesehatan.
Liberalisasi
Kesehatan yang dilakukan pemerintah lainnya yaitu berupa rencana pemerintah
mengalihkan layanan kesehatan pada mekanisme pasar. Mekanisme Pasar ini dari
pengadaan obat, rumah sakit bertaraf Internasional, Hak kekayaan Intelektual
dan BPJS (Badan
Penyelenggara Jaminan Sosial Kesehatan) dan SJSN (Sistem Jaminan Sosial Nasional). Utang
luar negeri (ULN) Indonesia pada Januari 2014 tercatat USD 269,3 miliar setiap
tahunnya naik secara drastis[6].
Minimnya anggaran pemerintah terhadap sektor kesehatan membuat sektor kesehatan
menjadi lahan empuk dengan suntikan dana hutang Imperialisme Amerika Serikat
sebagai pendonor terbesar hutang Indonesia. Selain itu penjajahan di
dunia kesehatan bisa dilihat dari sangat mahalnya biaya pendidikan di Fakultas
kedokteran sehingga rakyat tidak mampu mengaksesnya. Bahkan biaya kuliah di
Kedokteran mencapai 500 Juta[7]. Hal
ini berakibat pada sedikitnya tenaga kesehatan atau dokter di Indonesia bahkan
dari data WHO (World Health Organization)
pada tahun 2013 Rasio Dokter dan Penduduk Indonesia terburuk di Asia Tenggara
dengan rasio 3 Dokter untuk 10.000 penduduk[8].
Mahalnya menjadi dokter membuat orientasi Dokter-dokter Indonesia bukan pada
pengabdiannya pada rakyat Indonesia, melainkan pada kepentingan pasar yaitu
mencari keuntungan sebanyak-banyaknya dan menjual obat semahal-mahalnya.
Pemerintah
dalam hal ini sebagai pembuat, perencana dan pelaksana regulasi yang
berorientasi pada Pasar, obat-obat serta alat kesehatan dan pasar tenaga kerja
farmasi serta negara tujuan Utang dengan dalih pembangunan kesehatan.
[2].
http://www.indonesiafightpoverty.com/2014/04/01/indonesia-masih-dihantui-kasus-gizi-buruk/
diakses pada 8 November 2014
[3]. http://indonesia.ucanews.com/2013/01/23/62-juta-warga-indonesia-tidak-memiliki-akses-kesehatan/
diakses pada 8 November 2014
[4]. www.pharmexasia.com/aec-holds-huge-opportunities-for-pharmaceutical-industry-in-southeast-asia/
diakses pada 8 November 2014
[5]. http://www.berdikarionline.com/editorial/20111114/kesehatan-rakyat-dihadapan-pasar.html, pada 28 Desember 2013 pukul 18.57
[6] . http://www.bi.go.id/id/ruang-media/info-terbaru/Pages/Utang-Luar-Negeri-Indonesia-Januari-2014.aspx
diakses pada tanggal 8 November 2014
[7] .
http://www.jawapos.com/baca/artikel/2020/Jadi-Dokter-Siapkan-Rp-500-Juta
diakses pada 13 November 2014
[8] . http://health.liputan6.com/read/538536/rasio-dokter-dan-penduduk-indonesia-paling-buruk-se-asean
Diakses pada 13 November 2014
0 komentar:
Posting Komentar