Oleh
Azmi Fajar Maulana
"Kita belajar untuk membakar sesuatu, yaitu membakar isi buku sekolah kita"
Petasan atau mercon,
begitulah kebanyakan orang indonesia menyebutnya. Petasan dalam sejarahnya digunakan
dalam kebudayaan masyarakat untuk
memperingati atau merayakan sesuatu seperti hari raya suatu agama maupun
upacara adat pernikahan. Di Indonesia, petasan dikenalkan oleh para pedagang
dari Tiong hoa sebagai ritual pembakaran petasan yang bermakna ‘pembakaran
terhadap hawa nafsu duniawi’ serta untuk merayakan ‘hari baru’ penuh suka cita.
Namun jika dilihat dari sejarah petasan ini maka kita akan melihat sejarah penggunaan
bubuk mesiu, yaitu ketika manusia mampu menggunakan senjata api seperti meriam
dan sejarah pengeksploitasian sumberdaya Alam.
Walaupun, kini dilakukan semacam pelarangan pembuatan
‘petasan’ oleh Hukum Positif Indonesia keberadaan Petasan sebagai ‘hiburan
rakyat’ tak pernah surut ditelan zaman. Dari Undang-undang Bunga api tahun 1939
Pemerintah Indonesia melarang pembuatan petasan ini. Dalam hukum di Indonesia
dikatakan petasan adalah benda dengan mengandung bahan peledak yang berbahaya ,
tergolong sebagai low explosive,
walaupun mungkin ‘lebih berbahaya’ senjata api polisi ataupun roket nuklir
Amerika Petasan begitu dekat dengan
kehidupan kita sehingga menarik untuk diperbincangkan.
Ilmu Pengetahuan dan Petasan
Sekitar 500 ribu tahun lamanya homo sapiens menjejakan
kakinya di planet yang bernama Bumi. Homo Sapiens atau disebut manusia mampu
bertahan hidup di zaman purbakala dikala manusia pada saat itu hanyalah mangsa
bagi Hewan-hewan predator. Manusia dengan berbagai cara bertahan hidup dari
bersembunyi di Gua-gua sampai belajar berlari untuk berburu. Dengan dimulainya
masa yang dikatakan ‘masa sejarah’ pada manusia yaitu cirinya adalah mengenal
tulisan atau komunikasi lewat artefak maka manusia mencapai tahap membentuk civilization (peradaban). Setiap
peradaban manusia seluruh masyarakat di dunia pasti meninggalkan jejak, baik
artefak, bangunan, bahasa, tulisan maupun pengetahuan.
Manusia memelihara pengetahuan layaknya filosof yang berani
dihukum mati demi pengetahuan atau bak
nabi yang rela diusir demi kebenaran yang diyakininya dan seperti suku
pedalaman yang bertahan hidup sebelum tergerus oleh zaman. Dari sejarah komune
primitif hingga kini manusia melalui pengalaman (ilmu pengetahuan) mereka mampu
bertahan hidup. Bagaimana dahulu penyakit lepra adalah penyakit ‘kutukan dewa’
kepada manusia namun setelah peniciline
di temukan maka lepra mampu di sembuhkan atau mungkin dahulu seorang Democritus
mampu menjelaskan tentang zat terkecil bernama atom?
‘Ledaknya’ perkembangan ilmu pengetahuan di Eropa berbeda
‘ledaknya’ di Indonesia. Jalan ditempat begitulah perkembangan
Ilmu pengetahuan di Indonesia. Institusi pendidikan yang ‘konon’ mercusuar ilmu
pengetahuan kini hanya menjadi pencetak wirausaha dan pegawai yang siap terjun
di rimba pasar bebas. Institusi
pendidikan seperti SD, SMP maupun SMA tidak mengajarkan untuk berpikir namun
diajarkan untuk ‘menurut’ pada instruksi kurikulum yang ada. Kenangan sekolah
adalah kenangan kita jajan di kantin
sekolah dan ketika kita menggosip tentang guru kita bukan kenangan terhadap
rumus dan pelajaran pada saat itu. Kemanakah ilmu pengetahuan menguap?
Ilmu pengetahuan menguap di selebaran kertas yang mungkin
sudah di loak-an oleh orang-orang. Mungkin juga ilmu pengetahuan hanya tinggal
di kontak ‘teman sekolah’ di hand phone, media sosial ataupun di ajang reuni. Apakah
ilmu pengetahuan itu? Sebegitu istimewakah sehingga aneh didengar ketika kita
masih duduk dan sudah lulus di bangku sekolah dan kuliah? Bahkan Ilmu
Pengetahuan adalah alien yang datang
ke bumi jika tukang becak yang sehari-hari duduk menanti penumpang di
pojok-pojok jalan berpendapat. Bukankah itu hasil belajar manusia selama
ratusan ribu tahun?
Petasan
Kertas bekas, begitulah pemuda Desa mencari kertas bekas
yang ada, Bukan untuk didaur ulang ataupun dijual, namun dicari dan dikumpulkan
untuk membuat kerajinan kreatif berupa petasan. Sasaran kertas bekas yang akan
dijadikan petasan salah satunya LKS (Lembar Kerja Siswa). LKS pada masa SD, SMP
maupun SMA adalah buku pegangan wajib siswa didik yang berisi rangkuman serta
soal-soal pelajaran-pelajaran di Sekolah. Namun jika kita melihat bentuk dan
isinya dari tahun ke tahun tidaklah berubah, yaitu kertas buram dan sangat
sedikit halamannya. Selain itu LKS hanya digunakan dalam waktu 1 semester pada
masa sekolahnya, adik-adik kelasnya harus membeli lagi dan lagi untuk bisa memiliki
LKS sehingga tumpukan LKS di rumah seseorang pastilah tidak sedikit.
Pengeluaran untuk pembelian LKS (Lembar Kerja Siswa) adalah keharusan wali
murid jika anaknya ingin belajar di kelas dengan ‘nyaman’. Selain LKS, sasarannya
adalah buku ‘detik-detik UAN (Ujian Akhir Nasional)’, Buku Tulis dan Buku Cetak
yang akan ‘diledak-an’ dengan bubuk petasan.
Filosofi membakar dan meledakan merupakan khas petasan
sebagai tanda kebahagiaan ataupun tanda kemuak-an
seseorang terhadap sesuatu. Sikap tak acuh untuk meledakan buku bekas hasil
sekolah selama tiga atau enam tahun lebih merupakan sikap yang perlu dilihat
dari pentingnya barang bekas itu. Namun Buku bekas yang pernah ‘baru’ yang konon berisi ilmu pengetahuan itu, siap
diledakan bersama serpihan kenangan masa sekolah dahulu.
Tak setiap hari kita meledakan petasan, tapi telinga tak
pernah lupa bunyi petasan itu seperti apa. Mungkin petasan yang anda beli adalah
kumpulan kertas dari pemuda yang dulunya rangking satu di sekolahnya atau
mungkin dari sobekan ayat suci. Begitulah hasil kita sekolah kita dijadikan
petasan yang berisi buku-buku usang berisi rumus-rumus fisika, kimia ataupun
puisi bahkan berisi ayat-ayat suci semuanya akan diledakan. Ataukah Media massa
yang memberitakan politik dan infotainment itu hanya menyisakan setumpukan
kertas koran yang siap untuk diledakan. Petasan dibalik asap tebalnya menyembunyikan bertindak secara sederhana yaitu tidak
berfungsinya institusi pendidikan sebagai mercusuar ilmu pengetahuan.
Diskriminasi masyarakat terhadap ilmu pengetahuan merupakan
tanda bahwa Ilmu pengetahuan kini terpisah dari ibu kandungnya sendiri yaitu masyarakat. Institusi pendidikan hanya
menjadi corong ‘rezim uang’ ini. Institusi
Pendidikan hanya menyisakan silaturahmi
para penghuninya, Guru dan Murid serta Kepala sekolah, tentu saja tidak lupa
hanya meninggalkan ijazah berisi tabel nilai tak tahu kemanakah larinya nilai
itu.
Mungkin petasan dan institusi pendidikan adalah ‘keluarga jauh’, tak tahu hubungan yang menjalinnya. Institusi pendidikan adalah industri kertas yang mencetak pemuda dengan kertas buram, kertas buram yang dicetak ‘hitam putih’ dan tidak jelas setiap halaman kehidupannya.
Inilah refleksi dunia pendidikan Indonesia.
Mari bermain petasan kawan-kawan!
0 komentar:
Posting Komentar