Sabtu, 10 Agustus 2013

Petasan dan Ilmu Pengetahuan

09.33

Oleh
Azmi Fajar Maulana

"Kita belajar untuk membakar sesuatu, yaitu membakar isi buku sekolah kita"

Petasan atau mercon, begitulah kebanyakan orang indonesia menyebutnya. Petasan dalam sejarahnya digunakan dalam kebudayaan masyarakat untuk  memperingati atau merayakan sesuatu seperti hari raya suatu agama maupun upacara adat pernikahan. Di Indonesia, petasan dikenalkan oleh para pedagang dari Tiong hoa sebagai ritual pembakaran petasan yang bermakna ‘pembakaran terhadap hawa nafsu duniawi’ serta untuk merayakan ‘hari baru’ penuh suka cita. Namun jika dilihat dari sejarah petasan ini maka kita akan melihat sejarah penggunaan bubuk mesiu, yaitu ketika manusia mampu menggunakan senjata api seperti meriam dan sejarah pengeksploitasian sumberdaya Alam.

Walaupun, kini dilakukan semacam pelarangan pembuatan ‘petasan’ oleh Hukum Positif Indonesia keberadaan Petasan sebagai ‘hiburan rakyat’ tak pernah surut ditelan zaman. Dari Undang-undang Bunga api tahun 1939 Pemerintah Indonesia melarang pembuatan petasan ini. Dalam hukum di Indonesia dikatakan petasan adalah benda dengan mengandung bahan peledak yang berbahaya , tergolong sebagai low explosive, walaupun mungkin ‘lebih berbahaya’ senjata api polisi ataupun roket nuklir Amerika Petasan begitu dekat dengan kehidupan kita sehingga menarik untuk diperbincangkan.

Ilmu Pengetahuan dan Petasan
Sekitar 500 ribu tahun lamanya homo sapiens menjejakan kakinya di planet yang bernama Bumi. Homo Sapiens atau disebut manusia mampu bertahan hidup di zaman purbakala dikala manusia pada saat itu hanyalah mangsa bagi Hewan-hewan predator. Manusia dengan berbagai cara bertahan hidup dari bersembunyi di Gua-gua sampai belajar berlari untuk berburu. Dengan dimulainya masa yang dikatakan ‘masa sejarah’ pada manusia yaitu cirinya adalah mengenal tulisan atau komunikasi lewat artefak maka manusia mencapai tahap membentuk civilization (peradaban). Setiap peradaban manusia seluruh masyarakat di dunia pasti meninggalkan jejak, baik artefak, bangunan, bahasa, tulisan maupun pengetahuan.

Manusia memelihara pengetahuan layaknya filosof yang berani dihukum mati demi pengetahuan atau bak nabi yang rela diusir demi kebenaran yang diyakininya dan seperti suku pedalaman yang bertahan hidup sebelum tergerus oleh zaman. Dari sejarah komune primitif hingga kini manusia melalui pengalaman (ilmu pengetahuan) mereka mampu bertahan hidup. Bagaimana dahulu penyakit lepra adalah penyakit ‘kutukan dewa’ kepada manusia namun setelah peniciline di temukan maka lepra mampu di sembuhkan atau mungkin dahulu seorang Democritus mampu menjelaskan tentang zat terkecil bernama atom?

‘Ledaknya’ perkembangan ilmu pengetahuan di Eropa berbeda ‘ledaknya’ di Indonesia.  Jalan ditempat begitulah perkembangan Ilmu pengetahuan di Indonesia. Institusi pendidikan yang ‘konon’ mercusuar ilmu pengetahuan kini hanya menjadi pencetak wirausaha dan pegawai yang siap terjun di rimba pasar bebas. Institusi pendidikan seperti SD, SMP maupun SMA tidak mengajarkan untuk berpikir namun diajarkan untuk ‘menurut’ pada instruksi kurikulum yang ada. Kenangan sekolah adalah kenangan kita jajan di kantin sekolah dan ketika kita menggosip tentang guru kita bukan kenangan terhadap rumus dan pelajaran pada saat itu. Kemanakah ilmu pengetahuan menguap?

Ilmu pengetahuan menguap di selebaran kertas yang mungkin sudah di loak-an oleh orang-orang. Mungkin juga ilmu pengetahuan hanya tinggal di kontak ‘teman sekolah’ di hand phone, media sosial ataupun di ajang reuni. Apakah ilmu pengetahuan itu? Sebegitu istimewakah sehingga aneh didengar ketika kita masih duduk dan sudah lulus di bangku sekolah dan kuliah? Bahkan Ilmu Pengetahuan adalah alien yang datang ke bumi jika tukang becak yang sehari-hari duduk menanti penumpang di pojok-pojok jalan berpendapat. Bukankah itu hasil belajar manusia selama ratusan ribu tahun?

Petasan
Kertas bekas, begitulah pemuda Desa mencari kertas bekas yang ada, Bukan untuk didaur ulang ataupun dijual, namun dicari dan dikumpulkan untuk membuat kerajinan kreatif berupa petasan. Sasaran kertas bekas yang akan dijadikan petasan salah satunya LKS (Lembar Kerja Siswa). LKS pada masa SD, SMP maupun SMA adalah buku pegangan wajib siswa didik yang berisi rangkuman serta soal-soal pelajaran-pelajaran di Sekolah. Namun jika kita melihat bentuk dan isinya dari tahun ke tahun tidaklah berubah, yaitu kertas buram dan sangat sedikit halamannya. Selain itu LKS hanya digunakan dalam waktu 1 semester pada masa sekolahnya, adik-adik kelasnya harus membeli lagi dan lagi untuk bisa memiliki LKS sehingga tumpukan LKS di rumah seseorang pastilah tidak sedikit. Pengeluaran untuk pembelian LKS (Lembar Kerja Siswa) adalah keharusan wali murid jika anaknya ingin belajar di kelas dengan ‘nyaman’. Selain LKS, sasarannya adalah buku ‘detik-detik UAN (Ujian Akhir Nasional)’, Buku Tulis dan Buku Cetak yang akan ‘diledak-an’ dengan bubuk petasan.

Filosofi membakar dan meledakan merupakan khas petasan sebagai tanda kebahagiaan ataupun tanda kemuak-an seseorang terhadap sesuatu. Sikap tak acuh untuk meledakan buku bekas hasil sekolah selama tiga atau enam tahun lebih merupakan sikap yang perlu dilihat dari pentingnya barang bekas itu. Namun Buku bekas yang pernah ‘baru’ yang konon berisi ilmu pengetahuan itu, siap diledakan bersama serpihan kenangan masa sekolah dahulu.

Tak setiap hari kita meledakan petasan, tapi telinga tak pernah lupa bunyi petasan itu seperti apa. Mungkin petasan yang anda beli adalah kumpulan kertas dari pemuda yang dulunya rangking satu di sekolahnya atau mungkin dari sobekan ayat suci. Begitulah hasil kita sekolah kita dijadikan petasan yang berisi buku-buku usang berisi rumus-rumus fisika, kimia ataupun puisi bahkan berisi ayat-ayat suci semuanya akan diledakan. Ataukah Media massa yang memberitakan politik dan infotainment itu hanya menyisakan setumpukan kertas koran yang siap untuk diledakan. Petasan dibalik asap tebalnya menyembunyikan bertindak secara sederhana yaitu tidak berfungsinya institusi pendidikan sebagai mercusuar ilmu pengetahuan.

Diskriminasi masyarakat terhadap ilmu pengetahuan merupakan tanda bahwa Ilmu pengetahuan kini terpisah dari ibu kandungnya sendiri yaitu masyarakat. Institusi pendidikan hanya menjadi corong ‘rezim uang’ ini. Institusi Pendidikan hanya menyisakan silaturahmi para penghuninya, Guru dan Murid serta Kepala sekolah, tentu saja tidak lupa hanya meninggalkan ijazah berisi tabel nilai tak tahu kemanakah larinya nilai itu.

Mungkin petasan dan institusi pendidikan adalah ‘keluarga jauh’, tak tahu hubungan yang menjalinnya. Institusi pendidikan adalah industri kertas yang mencetak pemuda dengan kertas buram, kertas buram yang dicetak ‘hitam putih’ dan tidak jelas setiap halaman kehidupannya.

Inilah refleksi dunia pendidikan Indonesia.
Mari bermain petasan kawan-kawan!

Written by

We are Creative Blogger Theme Wavers which provides user friendly, effective and easy to use themes. Each support has free and providing HD support screen casting.

0 komentar:

Posting Komentar

 

© 2013 azmyfajar. All rights resevered. Designed by Templateism

Back To Top