Kamis, 20 November 2014

Skema Penjajahan Asing di Dunia Kesehatan Indonesia



Oleh
Azmi Fajar Maulana[1]

Materi disampaikan pada Simposium Nasional Advance Training of Public Health (AToPH) Teknik Advokasi, Manajemen Isu, Diplomasi, dan Negosiasi 
10 November 2014 di Baturaden Banyumas Jawa Tengah

Pendahuluan
Setiap warga negara, mempunyai hak dasar yang melekat pada dirinya untuk mendapatkan pemeliharaan hidup oleh negara, termasuk memelihara kesehatan, sebagaimana dijamin dalam konstitusi dasar negara, UUD `45, Pasal 28 H. Namun di Indonesia hak demokratis akan kesehatan kini dirampas. Masih banyak anak Indonesia yang kekurangan gizi (malnutrisi) yaitu meningkat dari 15 persen menjadi 17 persen (Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, 2013). Bahkan Pada tahun 2012, Indonesia Negara kekurangan gizi nomor 5 di dunia[2]. Bank Dunia tahun 2013 mencatat 383 kecamatan belum memiliki puskesmas saat ini. Artinya, sebanyak 6,2 juta jiwa penduduk Indonesia tidak memiliki akses terhadap fasilitas pelayanan kesehatan dasar. Di level lebih tinggi, masih ada 42 kabupaten yang belum memiliki rumah sakit. Itu berarti ada 36 juta penduduk Indonesia yang tak punya akses terhadap fasilitas kesehatan sekunder[3].
Liberalisasi telah merambah dunia kesehatan, sehingga orientasi pelayanan kesehatan yakni yang secara hakikat merupakan hak kemanusiaan namun kini dikesampingkan sehingga sekarang menjadi orientasi ke arah pasar (market orientation). Liberalisasi kesehatan tidak sepenuhnya terjadi, namun yang terjadi adalah monopoli oleh korporasi farmasi dunia, sehingga obat-obatan tidak hanya diproduksi untuk mengatasi penyakit, namun untuk akumulasi keuntungan korporasi. Padahal, seperti yang kita ketahui bersama jika kesehatan merupakan sebuah hak serta kebutuhan yang menyangkut hajat hidup orang banyak sehingga kesehatan diperlukan oleh setiap masyarakat.
Pemerintah dalam hal ini merupakan otoritas tertinggi yang menjalankan setiap roda pemerintahan dengan pengambilan kebijakan untuk masyarakat salah satunya adalah dalam pengambilan kebijakan kesehatan. Dalam konteks menyangkut pemerintah di sini adalah pemerintah merupakan pemberi kebijakan mengenai kesehatan kepada masyarakat agar masyarakat mendapat pelayanan kesehatan yang memadai dan terjangkau bagi masyarakat. Namun pada realita saat ini, kebijakan pemerintah dalam sektor kesehatan tersebut hanyalah semata-mata patuh kepada Imperialisme Amerika Serikat yang menguasai organisasi-organisasi Dunia seperti WTO, WHO, World Bank, PBB serta IMF itulah kenapa Indonesia merupakan Negara Setengah Jajahan dan Setengah Feodal.
Berikut ini Skema Ekonomi Politik penjajahan Imperialisme dalam dunia Kesehatan :

Kapitalisme Monopoli di Dunia Kesehatan
WTO : Liberalisasi Kesehatan
WTO (World Trade Organization), didirikan pada tahun 1994, merupakan agen baru perdagangan global yang berkuasa, yang telah mengubah GATT (Perjanjian Bea-Masuk dan Perdagangan) menjadi sebuah perjanjian yang mampu memaksakan perdagangan global. WTO adalah salah satu mekanisme utama dari globalisasi korporasi. Pendukungnya mengatakan bahwa WTO berdasarkan pada ‘perdagangan bebas’ (free-trade). WTO merupakan bentuk penjajahan gaya baru (imperialisme) terhadap negara-negara seperti Indonesia dengan skema regulasi (undang-undang) yang tak berpihak pada Rakyat serta Lingkungan. Indonesia sudah meratifikasi perjanjian-perjanjian WTO termasuk GATS  dengan UU No.7 tahun 1994. Kepentingan Publik (Kesehatan) dikorbankan demi kepentingan perdagangan dengan mengubah hak kolektif rakyat Indonesia menjadi hak privat.
            GATS (General Agreement on Trade in Services atau Perjanjian Perdagangan Jasa) adalah salah satu dari 15 Perjanjian Putaran Uruguay yang diwajibkan oleh WTO. 12 Sektor jasa yang menjadi perjanjian (Liberalisasi) adalah Cakupan GATS adalah semua sektor jasa, dalam perjanjian disebutkan minimal ada 12 sektor yang terdiri atas yaitu: 1) Jasa bisnis termasuk jasa professional dan jasa computer. 2) Jasa komunikasi. 3) Jasa konstruksi dan teknik terkait 4)Jasa distribusi 5) Jasa pendidikan 6) Jasa lingkungan 7) Jasa keuangan (termasuk asuransi dan perbankan) 8) Jasa kesehatan dan sosial 9) Jasa wisata dan perjalanan 10) Jasa rekreasi, budaya dan olah raga 11) Jasa transportasi 12) Jasa-jasa lainya kecuali jasa non komersil.
            Liberalisasi Kesehatan dapat dilihat dengan semakin dikuranginya peran negara terhadap sektor Kesehatan. Seperti diterbitkannya PP Nomor 23 Tahun 2005 tentang Pengelolaan Keuangan Badan Layanan Umum, membuat seperti jasa layanan kesehatan seperti Rumah Sakit (Privat/Publik), mempunyai wewenang badan otoritas secara manajemen keuangan dan berhak memungut tarif layanan kesehatan dan mempunyai Bisnis-bisnis sehingga Komersialisasi-pun ada di dunia Kesehatan. Selain itu Liberalisasi bisa dilihat dari kebijakan SJSN dan BPJS yang berasal dari Hutang Luar Negeri.

Monopoli Obat-obatan
Large firms in the healthcare sector in Japan and the United States are looking for opportunities in Southeast Asia”[4]. (Perusahaan Besar di sektor pelayanan Kesehatan yang berasal dari Jepang dan Amerika melihat kesempatan pasar di Asia Tenggara)

            Menurut data dari Pharm Exec tahun 2012, 50 besar korporasi teratas di Dunia di bidang farmasi seperti Pfizer, Novartis, Merck, Sanofi, Roche, GlaxoSmithKline, Astra Zaneka, Johnson & Jonshon, Abbott, Eli Lilly memperoleh keuntungan yang sangat luar biasa yaitu sebesar $610 Miliar hanya dalam kurun waktu tahun 2012, dan cakupan pasarnya seluruh dunia termasuk Indonesia. Obat-obatan yang dikomersialisasikan oleh kapitalis monopoli farmasi ini sebelumnya telah mendapat lisensi atau di legalkan oleh badan yang berwenang mengawasi obat. Biasanya, pabrik farmasi akan mengkomersilkan obat buatan mereka yaitu berupa obat-obatan yang memiliki kegunaan praktis untuk penyakit-penyakit ringan seperti batuk, flu, demam, pusing, sakit perut dan lain-lain. Dan untuk obat-obat untuk penyakit berat seperti dicontohkan Vaksin HIV (ARV) menjadi ladang bisnis para Kapitalis Monopoli Asing.
            Permainan Kapitalis Monopoli bisa dilihat dari perdebatan tentang Undang-undang Tembakau. Monopoli pasar tembakau yang sebagian besar adalah penopang dari APBN berupa Cukai Namun disisi lain WHO dengan ditopang oleh kapitalis monopoli farmasi Internasional mencoba menggugat UU Tembakau dengan dalih merusak kesehatan dsb. Dalam hal ini negara yang mempunyai wewenang regulasi mengambil jalan tengah di antara korporasi farmasi Internasional dan Korporasi perindustrian Rokok dengan hanya mencantumkan “Rokok dapat Membunuhmu”. Permainan pasar antara industri farmasi dan industri tembakau memang sudah banyak terjadi di Amerika, Eropa dan Asia.

Pemerintah
Dalam APBN 2011, kesehatan rakyat hanya mendapat anggaran sebesar 2,3%. Padahal, UU Nomor 36 tahun 2009 tentang Kesehatan mengharuskan anggaran kesehatan paling minimal 5 persen. Anggaran itu pun sebetulnya menurun dari Rp19,8 triliun menjadi Rp13,6 triliun. Pada APBN 2012, situasinya bertambah buruk : anggaran kesehatan hanya dialokasikan sebesar Rp 14,4 triliun atau 1% dari belanja negara[5]. Padahal, dengan biaya kesehatan yang sangat minim, akan semakin banyak rakyat Indonesia yang tidak bisa mengakses kesehatan.
Liberalisasi Kesehatan yang dilakukan pemerintah lainnya yaitu berupa rencana pemerintah mengalihkan layanan kesehatan pada mekanisme pasar. Mekanisme Pasar ini dari pengadaan obat, rumah sakit bertaraf Internasional, Hak kekayaan Intelektual dan BPJS (Badan Penyelenggara Jaminan Sosial Kesehatan) dan SJSN (Sistem Jaminan Sosial Nasional). Utang luar negeri (ULN) Indonesia pada Januari 2014 tercatat USD 269,3 miliar setiap tahunnya naik secara drastis[6]. Minimnya anggaran pemerintah terhadap sektor kesehatan membuat sektor kesehatan menjadi lahan empuk dengan suntikan dana hutang Imperialisme Amerika Serikat sebagai pendonor terbesar hutang Indonesia. Selain itu penjajahan di dunia kesehatan bisa dilihat dari sangat mahalnya biaya pendidikan di Fakultas kedokteran sehingga rakyat tidak mampu mengaksesnya. Bahkan biaya kuliah di Kedokteran mencapai 500 Juta[7]. Hal ini berakibat pada sedikitnya tenaga kesehatan atau dokter di Indonesia bahkan dari data WHO (World Health Organization) pada tahun 2013 Rasio Dokter dan Penduduk Indonesia terburuk di Asia Tenggara dengan rasio 3 Dokter untuk 10.000 penduduk[8]. Mahalnya menjadi dokter membuat orientasi Dokter-dokter Indonesia bukan pada pengabdiannya pada rakyat Indonesia, melainkan pada kepentingan pasar yaitu mencari keuntungan sebanyak-banyaknya dan menjual obat semahal-mahalnya.
Pemerintah dalam hal ini sebagai pembuat, perencana dan pelaksana regulasi yang berorientasi pada Pasar, obat-obat serta alat kesehatan dan pasar tenaga kerja farmasi serta negara tujuan Utang dengan dalih pembangunan kesehatan.  


[1] . Staf Departemen Pendidikan dan Propaganda Front Mahasiswa Nasional Cabang Purwokerto
[2]. http://www.indonesiafightpoverty.com/2014/04/01/indonesia-masih-dihantui-kasus-gizi-buruk/ diakses pada 8 November 2014
[3]. http://indonesia.ucanews.com/2013/01/23/62-juta-warga-indonesia-tidak-memiliki-akses-kesehatan/ diakses pada 8 November 2014
[4]. www.pharmexasia.com/aec-holds-huge-opportunities-for-pharmaceutical-industry-in-southeast-asia/ diakses pada 8 November 2014
[6] . http://www.bi.go.id/id/ruang-media/info-terbaru/Pages/Utang-Luar-Negeri-Indonesia-Januari-2014.aspx diakses pada tanggal 8 November 2014
[7] . http://www.jawapos.com/baca/artikel/2020/Jadi-Dokter-Siapkan-Rp-500-Juta diakses pada 13 November 2014
[8] . http://health.liputan6.com/read/538536/rasio-dokter-dan-penduduk-indonesia-paling-buruk-se-asean Diakses pada 13 November 2014

Sabtu, 05 April 2014

Dari Jakarta hingga Purwokerto : Keep Strugle for Education


Perjuangan melawan tirani di Indonesia dalam pendidikan sudah terjadi dari zaman kolonial karena pembatasan akses pendidikan untuk kaum buruh tani, kaum miskin kota maupun perempuan. Kebijakan kolonial yang diskriminatif[1] pada masa politik etis yang salah satunya adalah sekolah hanya untuk kaum bangsawan maupun tuan tanah sehingga petani miskin tetaplah kaum yang jauh akan rasanya mendapatkan pendidikan. Meski pada tahun 1818 telah dikeluarkan Regeringsreglement untuk Hindia Belanda yang isinya antara lain membahas bahwa semua sekolah di Hindia Belanda dapat dimasuki baik orang Eropa maupun penduduk jajahan[2]. Namun pada kenyataannya yang memasuki sekolah-sekolah pada saat itu, sedikit sekali yang berasal dari kalangan pribumi. Dan lulusan-lulusan dari sekolah bentukan Kolonial Belanda, mereka akan menjadi penyambung tangan-tangan penjajah sebagai upaya Belanda untuk memerintah secara tidak langsung kepada masyarakat dan bangsa Indonesia[3]. Menurut Ary Gunawan prinsip kebijakan pendidikan kolonial yaitu :
1.      Pemerintah kolonial berusaha tidak memihak salah satu agama tertentu.
2.      Pendidikan diarahkan agar para lulusannya menjadi pencari kerja, terutama demi kepentingan kaum penjajah.
3.      Sistem persekolahan disusun berdasarkan stratifikasi sosial yang ada dalam masyarakat.
4.      Pendidikan diarahkan untuk membentuk golongan elite sosial (penjilat penjajah) Belanda.
5.      Dasar pendidikannya adalah dasar pendidikan Barat dan berorientasi pada pengetahuan dan kebudayaan barat[4].

Beralih ke Kemerdekaan Indonesia, itu menjadi momentum menuju perbaikan kualitas manusia Indonesia, walaupun kondisi pendidikan masih jauh dari kata ‘baik’. Pelaksanaan wajib belajar menghadapi berbagai masalah, Jumlah sekolah dan guru belum memadai apalagi wajib belajar itu akan dilaksanakan. Jumlah guru yang dididik masih sangat terbatas, selain lulusan sekolah-sekolah guru Zaman kolonial[5].
Walaupun  itu Pasca kemerdekaan 1945 secara konstitusi, Indonesia menjamin hak Warga Negara Indonesia akan pendidikan dengan dibuatnya Undang-undang Dasar 1945. Pendidikan sebagai hak warga negara tertuang dalam Undang-undang Dasar 1945 Pasal 31 ayat (1) yang menyatakan “Setiap warga Negara berhak mendapat pendidikan”. Hak warga negara dalam mendapatkan pendidikan sudah jelas dilindungi secara konstitusi dasar Indonesia. Akhir dari masa pemerintah Orde Lama, menuah hasil dengan 90 persen Rakyat Indonesia menempuh Pendidikan Dasar[6]. Indonesia pada era tersebut sangat mendukung pendidikan sebagai satu alat akselarasi masyarakat menuju masyarakat adil dan makmur sesuai cita-cita UUD 1945[7].
Namun dalam perkembangannya kebijakan akan pemenuhan hak mendapat pendidikan terutama pendidikan tinggi tidaklah sepenuhnya dilaksanakan oleh negara ini. Sejarah telah mencatat, kondisi Indonesia masih dalam kekangan Imperialisme[8] hingga saat ini, yang mengeruk Sumber daya Alam[9] dan keringat Rakyat Indonesia dengan menjadi buruh dan buruh tani[10] semenjak Soeharto berkuasa tahun 1965. Kekangan Imperialisme-pun dirasakan dalam bidang Pendidikan, melalui WTO (World Trade Organization) atau Organisasi Perdagangan Dunia. Indonesia sendiri mulai mengikatkan diri dalam WTO sejak tahun 1994. Dengan diterbitkanya Undang-Undang No.7 Tahun 1994 tanggal 2 November 1994 tentang pengesahan (ratifikasi) “Agreement Establising the World Trade Organization”, maka Indonesia secara resmi telah menjadi anggota WTO dan semua persetujuan yang ada di dalamnya telah sah menjadi bagian dari legislasi nasional. Produk Hukum Nasional ‘berbicara’, bahwa ketika Orde Baru berkuasa, Liberalisasi Pendidikan tinggi[11] mulai diterapkan.
Liberalisasi pendidikan tinggi sendiri sudah ada sejak dikeluarkannya Undang-undang Nomor 2 Tahun 1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional[12]. Perguruan tinggi dianggap sebagai institusi yang mencetak pekerja-pekerja yang siap dikerjakan di perusahaan nasional maupun asing dalam rangka Investasi (Link and Match). Selain itu Undang-undang tersebut memuat bahwa sebagian pembiayaan pendidikan dibebankan kepada masyarakat[13]. Kebijakan terhadap pendidikan pada masa Orde baru terjadi penyesuaian terhadap Pasar Bebas dikarenakan pembukaan Indonesia seluas-luasnya sebagai lahan Investasi Asing[14] dengan bergabungnya Indonesia dalam organisasi-organisasi internasional seperti WTO, IMF dan World Bank[15]. Salah satu akibatnya lulusan pendidikan tinggi diorientasikan menjadi pekerja-pekerja di Perkebunan, Perkantoran, Pabrik dan Perusahaan tentunya untuk kepentingan pasar yang dimonopoli oleh swasta Asing. 
            Hasil dari reformasi Indonesia sama sekali tidak mengubah status anggotanya di WTO yang bergabung sejak 1995, akhirnya Indonesia ikut juga merundingkan beberapa isu pada KTM (Konfrensi Tingkat Menteri) WTO Ke-IV tahun 2003 di Hongkong. Isu pertama adalah AoA (Agreement of Agriculture), yaitu perjanjian dalam bidang pertanian. Kedua adalah NAMA (Non Agricultural Market Acsess),berupa perjanjian perdagangan di luar  produk pertanian. Dan yang ketiga adalah GATS (General Agreement on Tarrifs and Services). Dalam perundingan GATS (General Agreement on Tarrifs and Services), pendidikan merupakan salah satu bidang dari 13 bidang yang akan diliberalisasi. Pada tahun 2003 hasil dari forum WTO di Hongkong tersebut langsung di terapkan di Indonesia dengan diterbitkannya Undang-undang nomor 20 tahun 2003. Seperti yang dikutip UNESCO di bidang pendidikan, “Pendidikan tinggi di Indonesia dituntut untuk meliberalisasi pendidikan tinggi untuk kepentingan pasar bebas sesuai hasil forum WTO[16]. Akibat dari ratifikasi perjanjian WTO terhadap pendidikan dinyatakan oleh pernyataan mantan rektor UGM dalam sebuah seminar :
Melalui penandatangan GATS tersebut sebenarnya Pemerintah Indonesia telah menggeser pandangan tentang penyelenggaraan pendidikan dari suatu kegiatan yang sepenuhnya merupakan tanggungjawab pemerintah menunju kepada tanggung jawab bersama antara pemerintah pusat, pemerintah daerah dan masyarakat sebagaimana tercantum dalam UU No. 20 tahun 2003 tentang Sisdiknas.[17]
           
Kebijakan akan pendidikan yang didasarkan Undang-undang no. 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional menuai pro-kontra. Tidak sedikit pihak kontra akan kebijakan Sisdiknas, yang dianggap sebagai pesanan asing (WTO, IMF dan World Bank) karena berusaha sedikit demi sedikit melepaskan negara dari tanggung jawabnya akan pendanaan pendidikan (liberalisasi)[18].
Akses terhadap pendidikan tinggi yang sulit menjadi akibat yang harus ditanggung rakyat Indonesia, dari data BPS tahun 2010, total penduduk Indonesia yang berumur 15 tahun keatas sebesar 22,83 persen hanya lulusan SMA (Sekolah Menengah Atas) dan lebih kecil lagi, sebesar 6,87 persen yang berhasil menamatkan Perguruan tinggi. Artinya sebesar 70 persen lebih Penduduk Indonesia hanya tamat SD (Sekolah Dasar) dan SMP (Sekolah Menengah Pertama).[19] Bahkan Ind­onesia dengan Indeks Pembangunan Manusia (IPM) tercatat tahun 2012 hanya menempati peringkat ke-122 dari 187 negara dan rata-rata sekolah penduduk Indonesia hanya sampai 5,8 tahun[20], dengan kata lain rata-rata penduduk Indonesia tidak menamatkan Sekolah Dasar (SD).
Sedikitnya peran pemerintah akan pendidikan tinggi juga bisa dilihat dari kuantitas institusi peguruan tinggi yang didominasi swasta yaitu sekitar 97,24% atau sejumlah 2.928 perguruan tinggi. Sedangkan perguruan tinggi negeri di Indonesia hanya sejumlah 83 perguruan tinggi atau hanya sekitar 2,76%[21]. Dengan lebih banyaknya Peguruan tinggi swasta dibandingkan Peguruan tinggi negeri maka bisnis pendidikan tinggi semakin meningkat. Masalah yang saat ini masih terus dialami oleh rakyat Indonesia terutama dalam bidang Pendidikan, telah memunculkan berbagai perlawanan, terhadap kebijakan-kebijakan pemerintah terutama oleh Mahasiswa.
Sejarah telah mencatat peranan yang besar yang dilakukan oleh gerakan sosial mahasiswa yang memicu terjadinya perubahan sosial. Secara empirik kekuatan mereka terbukti dalam serangkaian peristiwa penggulingan, antara lain seperti Juan Peron di Argentina tahun 1955, Perez Jimenez di Venezuela tahun 1958, De Gaulle di Perancis tahun 1968, Ayub Khan di Pakistan tahun 1969, Reza Pahlevi di Iran tahun 1979, Chun Doo Hwan di Korea Selatan tahun 1987, Ferdinand Marcos di Filipina tahun 1985. Sebagian besar peristiwa pengulingan kekuasaan itu memang bukan menjadi monopoli gerakan mahasiswa sehingga tercipta gerakan revolusioner, namun gerakan mahasiswa lewat aksi-aksi mereka yang bersifat massif politis telah terbukti menjadi penggerak yang sangat penting bagi penciptaan gerakan rakyat dalam menentang kekuasaan.[22]
Gerakan mahasiswa di Indonesia dapat dilihat pada masa pasca proklamasi kemerdekaan, dimana pada saat itu muncul berbagai organisasi mahasiswa dengan dasar ideologi yang berbeda-beda. Pada tanggal 5 Februari 1947 diresmikan terbentuknya Himpunan Mahasiswa Islam (HMI), kemudian diikuti berdirinya Gerakan Mahasiswa Kristen Indonesia (GMKI) dan kemudian disusul dengan berdirinya Perhimpunan Mahasiswa Khatolik Republik Indoenesia (PMKRI). Organisasi-organisasi mahasiswa ini menggunakan ideologi agama seperti Islam, Kristen dan Khatolik. Kemunculan organisasi-organisasi  mahasiswa ini mengikuti lahirnya partai-partai politik yang juga menggunakan basis ideologi agama seperti Masyumi yang berdiri tanggal 7 Nopember 1945 dan Partai Khatolik yang berdiri  tangal 8 Desaember 1945. Sementara partai besar lainnya yaitu Partai Nasional Indonesia juga memiliki organisasi gerakan mahasiswa yaitu Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia yang berdiri tanggal 23 Maret 1954. Comite Gerakan Mahasiswa Indoensia (CGMI) dibentuk pada 1956 sebagai hasil penggabungan tiga organisasi kecil mahasiswa di Bandung, Bogor dan Yogyakarta. Pada Kongres CGMI ke IV tahun 1964 di Jakarta dinyatakan bahwa CGMI akan mendekati partai yang berpihak kepada rakyat. Dalam perkembangannya CGMI memiliki kedekatan dengan PKI.[23]
Di tahun 1965, gerakan mahasiswa  menjadi lebih terkonsolidasi ketika dibentuknya Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia (KAMMI) tanggal 25 Oktober 1965. KAMMI  terdiri dari sejumlah organisasi seperti  HMI, PMKRI,  Sekretariat Bersama Organisasi-organisasi Lokal (SOMAL), Mahasiswa Pancasila (Mapancas), dan Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII). Pembentukan KAMMI atas pertimbangan bahwa belum adanya jaringan nasional atau organisasi secara rapi. Kemunculan KAMI tersebut membuat isu yang dibawa mahasiswa menjadi lebih terfokus menjadi Tritura (Tri Tuntutan Rakyat). Isi dari tuntutan tersebut adalah: bubarkan PKI, retool kabinet Dwikora dan turunkan harga barang[24]. Pada akhirnya gerakan mahasiswa ini berhasil meruntuhkan rezim orde lama yang akhirnya berganti dengan orde baru.
Memasuki tahun 1972 mahasiswa terus melancarkan aksi, terutama karena dipicu kondisi ekonomi yang memburuk, dimana harga beras naik karena keteledoran pemerintah dalam pengadaan beras sesudah kemarau panjang. Setahun kemudian, aksi-aksi mahasiswa mengusung isu korupsi. Awal tahun 1974, gerakan mahasiswa memuncak dengan meletusnya Malapetaka Lima Belas Januari (Malari), dimana para tokoh mahasiswa banyak yang ditangkapi dan dipenjarakan. Dalam aksinya saat itu mahasiswa mencetuskan “Tritura” versi baru yang berisi: ganyang korupsi, bubarkan asisten pribadi, dan turunkan harga.[25]
Pasca peristiwa Malari, kontrol terhadap aktivitas mahasiswa di dalam kampus semakin diperketat. Selain itu pers mahasiswa harus diawasi oleh Menteri Penerangan dan birokrat kampus, dan peraturan yang mengharuskan organisasi mahasiswa yang berafiliasi dengan partai untuk bergabung menjadi satu organisasi yang diatur oleh rezim.[26]
Gerakan mahasiswa kembali menghangat pada tahun 1977 karena situasi ekonomi-politik saat itu. Kondisi ekonomi semakin timpang dengan ditunjukan oleh disparitas ditribusi kekayaan nasional dimana 40% penduduk miskin menguasai kekayaan nasional sebesar 15%, 40% penduduk menengah memegang kekayaan nasional sebesar 40% dan 20% penduduk lapisan atas menguasai 45% kekayaan negara. Selain itu jumlah pengangguran juga meningkat tajam dari 3,6 juta pada tahun 1961 menjadi 8,3 juta.[27]
Pemilu 1977 menjadi momentum kembalinya gerakan mahasiswa. Di Jakarta mahasiswa melakukan aksi sebagai protes atas pelaksanaan pemilu yang tidak jujur karena birokrasi sipil dan militer yang memihak. Mereka menolak kemenangan Golkar yang dihasilkan oleh pemilu yang cacat.[28]
Gerakan mahasiswa terus berlanjut pada tahun berikutnya. Di tahun 1978 gerakan mahasiswa bahkan mengusung isu pergantian kepala negara. Melihat itu pemerintah berupaya mengeliminasi mahasiswa dari kegiatan politik dengan menerapkan kebijakan Normalisasi Kehidupan Kampus (NKK) dan Badan Koordinasi Kemahasiswaan (BKK). Kebijakan ini membuat mahasiswa hanya boleh melakukan kegiatan kampus dan dilarang berhubungan dengan kehidupan politik praktis serta mengontrol kegiatan mahasiswa baik kurikuler maupun non kurikuler yang dilaksanakan oleh pimpinan perguruan tinggi.[29]
Dari tahun 1967-1998, kurang lebih 32 tahun Soeharto berada ditampuk kekuasaannya. Krisis Moneter, KKN dan Kelangkaan pangan terjadi di Indonesia, kontradiksi semakin memuncak ketika gerakan-gerakan mahasiswa di perkotaan semakin besar. Mahasiswa pada tahun 1990-an mengakumulasi kekuatannya untuk menumbangkan kekuasaan Soeharto. Seperti di Semarang gerakan mahasiswa dimulai dari tahun 1992 dengan bergeraknya mahasiswa (Fakultas Sastra Universitas Diponegoro)[30]. Akumulasi kekuatan mahasiswa berupa gerakan reformasi memuncak pada tahun 1998 di Jakarta, tetapi isu yang ada hanya masalah penggulingan kekuasaan Soeharto, tanpa menyentuh tuntutan perubahan struktur, peraturan dan kerjasama Internasional, bahkan tidak mampu menyentuh kebijakan akan pendidikan.
Klasifikasi model gerakan mahasiswa yang mengangkat isu-isu tertentu ini seperti yang diungkapkan oleh Andik Matulessy. Menurutnya kelompok Organisasi mahasiswa terbagi dalam tiga kelompok. Kelompok pertama adalah kelompok yang keberadaannya secara formal direstui oleh pihak perguruan tinggi dalam bentuk organisasi intra kampus seperti BEM. Kelompok kedua adalah kelompok yang mendasarkan pada afiliasi politik yang menjadi bidang kelahirannya. Misalkan saja GMNI dan HMI. Kelompok ketiga adalah kelompok yang muncul karena isu tertentu dan cenderung berkolaborasi dengan elemen mahasiswa yang lain, Kelompok terakhir ini lebih lantang menyuarakan suara kritisnya[31]. Contoh dari kelompok ini adalah kemunculan FMN (Front Mahasiswa Nasional) pada tahun 2003 atas keresahannya kondisi objektif gerakan mahasiswa yang semakin pragmatis dan terjatuh dalam heroisme dan romantisme pasca reformasi 1998 di Jakarta dan semakin melupakan sektor mahasiswa yaitu sektor pendidikan.
Gerakan Sosial yang mengusung perubahan akan pendidikan rakyat sangatlah banyak pasca reformasi ‘berkumandang’, dari “Gerakan Indonesia Mengajar” yang dipelopori oleh Anies Baswedan. Gerakan Bhineka Ceria yang digerakan oleh HMI (Himpunan Mahasiswa Islam) Purwokerto dan gerakan-gerakan ‘moralis’ lainnya. Namun Gerakan menentang kebijakan pemerintah akan pendidikan sangatlah sedikit karena dianggap gerakan ini tidaklah berpengaruh langsung terhadap masyarakat dan terlalu ‘politis’. Gerakan mahasiswa yang relevan untuk kelas mahasiswa menyelesaikan kontradiksi mahasiswa sendiri. Beberapa masalah yang harus diselesaikan oleh Mahasiswa antara lain :
1.      Biaya kuliah murah
2.      Peningkatan fasilitas pendidikan di kampus
3.      Kebebasan berpendapat dan berorganisasi di kampus
4.      Penghentian represifitas terhadap mahasiswa
5.      Pemberantasan segala bentuk pungutan liar di kampus
6.      Pelibatan mahasiswa secara menyeluruh dalam menentukan kebijakan kampus
7.      Transparansi pengelolaan dana operasional kampus
8.      Peningkatan kesejahteraan dosen, karyawan dan guru
9.      Pendidikan gratis bagi seluruh rakyat Indonesia
10.  Lapangan pekerjaan bagi sarjana dan pemuda
11.  Pemberantasan korupsi di dalam dunia pendidikan
12.  Pemberantasan buta huruf, dll.[32].

Universitas Jenderal Soedirman sebagai Universitas Negeri yang dahulu dikenal sebagai ‘Kampus Rakyat’, kini berubah menjadi Badan Layanan Umum (BLU) yang salah satu kegiatannya adalah Layanan Usaha di bidang pendidikan[33]. Unsoed yang sudah berumur 50 tahun, kini menjadi salah satu Universitas BLU (Badan Layanan Umum)[34] dengan otonomi kampus dalam penentuan biaya pendidikan adalah salah satu otoritasnya.
            Kebijakan akan tarif biaya pendidikan di Unsoed dari SPI (Sumbangan Pengelolaan Institusi), POM (Persatuan Orang Tua Mahasiswa), POOM (Persatuan Orang Tua Mahasiswa), BOPP (Biaya Operasional Pelayanan Pendidikan), BFP (Biaya Fasilitas Pendidikan) dan UKT (Uang Kuliah Tunggal) selalu menuai masalah bagi mahasiswa[35]. Salah satu penolakan terhadap kebijakan biaya pendidikan di Unsoed yang terdokumentasi tahun 2004 adalah aksi penolakan SPI (Sumbangan Pengelolaan Institusi) oleh mahasiswa Unsoed. SPI dinilai memberatkan mahasiswa karena penarikan SPI tak sesuai pada kemampuan ekonomi mahasiswa Unsoed pada saat itu[36]. Kebijakan tarif pendidikan tinggi di Universitas Jenderal Soedirman Purwokerto dari tahun ke tahun selalu menuai banyak protes. Dengan terus naiknya tarif pendidikan selama 10 tahun (2002 – 2012) di Unsoedyang mencapai 400%[37], membuat mahasiswa kini terus bergerak melawan kebijakan Universitas tentang tarif pendidikan tanpa dibatasi oleh sekat-sekat Organisasi Ekstra maupun Intra Kampus. Pada tahun 2012 tejadi protes kebijakan pendidikan Tinggi di Unsoed melibatkan sekitar 4.000 mahasiswa turun ke jalan menyuarakan protesnya terhadap kebijakan Universitas Jenderal Soedirman dalam pemutusan UKT (Uang Kuliah Tunggal) sebagai sistem pembiayaan pendidikan tinggi yang nominalnya sangat tinggi.
Gerakan Save Soedirman begitulah mahasiswa menyebutnya sebagai terobosan gerakan kontemporer yang mampu menarik partisipasi banyak orang. Dari Hand band, Konser antar-fakultas, Reboan, Flashmob, Web Savesoedirman, Occupy Rectorat, Aksi “Telah mati hati nurani Rektorat” “Mosi Tidak Percaya Rektorat”, sampai Gugatan Mahasiswa ke PTUN. Dalam penelitian ini, peneliti yang ikut dalam gerakan Savesoedirman akan menggambarkan secara detil gerakan ‘Save Soedirman’ sebagai Gerakan sosial mahasiswa dalam menuntut hak-hak demokratisnya dalam memperoleh pendidikan yang murah.



[1] . Peraturan umum tentang pendidikan sekolah yang berisi bahwa pendidikan hanya untuk orang Belanda saja (Muhammad Said dan Junimar Affan. 1987. Mendidik dari Zaman Ke Zaman. Bandung: Jemmars hlm 3.)
[2] . Supriadi, Dedi (Ed.). 2003. Guru di Indonesia: Pendidikan, Pelatihan, dan Perjuangan Sejak Zaman Kolonial hingga Era Reformasi. Jakarta: Depdikbud. Hlm 42
[3]. Rifa’i, Muhammad. 2011. Sejarah Pendidikan Nasional Dari Masa Klasik Hingga Modern. Jogjakarta: Ar-Ruzz Media hlm 67-68
[4] . ibid. (Rifa’I, 2001) hlm 67
[5] . Abdurrohim, Pendidikan Sebagai Upaya Rekonstruksi Sosial, posted by Almuttaqin at11:41 PM , http://almuttaqin-uinbi2b.blogspot.com/2008/04/Abdurrohim diambil pada 2 April 2014
[6] . Moh. Yamin, Menggugat Pendidikan Indonesia. (Jogjakarta: Ar Ruz, 2009), hlm. 92
[7] . Ibid, 2009, hlm. 92
[8] . “Baik dalam arti dominasi penuh; trust-trust, dalam arti kemahakuasaan bank-bank besar, maupun dalam arti politik kolonial secara besar-besaran oleh (‘Negara dan Revolusi’ V.I.Lenin: 1917). Imperialisme adalah ekspansi global Trans National Corporation (TNC) dan MultiNational Corporation (MNC) seperti General Motor, Freeport, Exxon Mobile, Microsoft dan sebagainya lewat institusi Negara melalui Organisasi Internasional (IMF,WTO dan World Bank) lihat Film Dokumenter ‘The Rules of The World” John Pigler : 2007
[9] . Dengan dikeluarkannya Undang-undang No. 1 tahun 1967 tentang Penanaman Modal Asing (UU PMA) dan di revisi menjadi Undang-undang no. 25 tahun 2007 tentang Penanaman modal Asing.
[10] . Richard Nixon selaku presiden Amerika Serikat pada saat itu berkomentar “Dengan 100 Juta penduduknya dan 300 mil busur pulau-pulau yang berisi persediaan sumber daya Alam terkaya di daerah tersebut, Indonesia adalah hadiah terbesar di Asia tenggara”. John Pilger, The New Rulers of the world, London, New York: Verso, 2002 hlm 15. Lihat juga Film Dokumenter “New Rulers of the World”, John Pilger, 2002. dalam “Bergerak Bersama Rakyat! : Sejarah Mahasiswa dan Perubahan Sosial di Indonesia”.2007.Suharsih dan Ign Mahendra K. hlm 2.Resist Book. Yogyakarta”
[11] . Liberalisasi pendidikan tingi adalah konsep pengelolaan institusi pendidikan yang menetapkan pendidikan sebagai salah satu industri sektor tersier, yang kegiatan pokoknya adalah mentransformasi orang yang tidak berpengetahuan dan orang yang tidak mempunyai keterampilan menjadi orang yang berpengetahuan dan mempunyai keterampilan (human services) (Makalah yang disampaikan oleh prof. Sofyan Efendi sebagai Rektor UGM pada acara Diskusi “GATS: Neo-imprialisme modern dalam Pendidikan” diselenggarakan oleh BEM KM UGM, Ygoayakarta, 22 September 2005)
[12] . direvisi menjadi Undang-undang no. 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional
[13] . Pasal 1 ayat 10 “Sumber daya pendidikan adalah pendukung dan penunjang pelaksanaan pendidikan yang terwujud sebagai tenaga, dana, sarana dan prasarana yang tersedia atau  diadakan dan didayagunakan oleh keluarga, masyarakat, peserta didik dan Pemerintah,  baik sendiri-sendiri maupun bersamasama”. Pembagian peran dalam tenaga, dana dan prasarana kepada masyarakat adalah proses awal pemerintah Orde baru dalam mengkomersilkan pendidikan terutama pendidikan tinggi. Selain itu kebijakan SPP (Sumbangan Pelayanan Pendidikan) pertama kali diterapkan pada masa orde baru.
[14] . Undang-Undang no. 1 tahun 1967 tentang penanaman modal asing yang kemudian direvisi menjadi Undang-Undang no. 25 tahun 2007 tentang penanaman modal asing
[15] . Dengan diterbitkannya Undang-undang Penanaman Modal Asing, UU pengadaan tanah untuk kepentingan umum, Undang-undang perkebunan, Undang-Undang Pertambangan merupakan ‘pengabdian’ Presiden Soeharto terhadap pemodal asing untuk pengeksplorasian SDA Indonesia oleh Asing.
[16] . UNESCO.2002.Education Today : Higher Education for Sale3rd edition.France
[17] . Makalah yang disampaikan oleh prof. Sofyan Efendi sebagai Rektor UGM pada acara Diskusi “GATS: Neo-imprialisme modern dalam Pendidkan” diselenggarakan oleh BEM KM UGM, Yogyakarta, 22 September 2005.
[18] .  Undang-undang no 20 tahun 2003 tentang Sistem pendidikan Nasional membagi Pendanaan pendidikan  menjadi 3 bagian, yaitu Pemerintah Pusat, Pemda, dan Masyarakat seperti termuat dalam pasal 46 ayat 1 “Pendanaan pendidikan menjadi tanggung jawab bersama antara Pemerintah, pemerintah daerah, dan masyarakat.”selain itu pasal 9 yang berbunyi ““Masyarakat berkewajiban memberikan dukungan sumber daya dalam penyelenggaraan pendidikan”. Pasal tersebut dijadikan sebagai alat legitimasi oleh seluruh universitas di Indonesia untuk menerapkan kebijakan melakukan pungutan terhadap orangtua mahasiswa berupa sumbangan pembiayaan pendidikan yang ditentukan oleh pihak universitas, dengan melibatkan senat dan rektorat.
[19] . BPS tahun 2010
[20] . Wahyudi, M. Said.Kualitas Manusia Jadi Taruhan.Kompas Cetak : Jum’at 25 Oktober 2013
[21] . data kementerian nasional pendidikan indonesia tahun 2010.
[22] Lihat dalam http://www.transparansi.or.id/Majalah/Edisi20/20berita_4.html, diakses tanggal 10 Maret 2013
[23] Lihat dalam Suharsih dan Ign Mahendra K, Bergerak Bersama Rakyat; Sejarah gerakan Mahasiswa dan Perubahan Sosial di Indonesia, hal 68.
[24] Ibid. Hal 72.
[25] Loc .cit.
[26] op.cit. Hal 84
[27] Lihat dalam Suharsih dan Ign Mahendra K, Bergerak Bersama Rakyat; Sejarah gerakan Mahasiswa dan Perubahan Sosial di Indonesia Hal 84
[28] Ibid. Hal 84
[29] Ibid. Hal 87
[30] . Aryono. 2009. Jalan Mendaki Menuju Reformasi: Gerakan Mahasiswa di Semarang Tahun 1990-1998. Universitas Diponegoro.
[31] Andik Matulessy, 2005, Mahasiswa dan Gerakan Sosial, Surabaya: Srikandi.Hum
[32] . 12 Program Perjuangan Front Mahasiswa Nasional (FMN) dalam Materi Pendidikan Anggota FMN
[33] . Jawaban dari Kuasa Hukum Rektorat Unsoed atas Gugatan Mahasiswa terhadap SK UKT tahun 2012 di PTUN (Pengadilan Tata Usaha Negara).
[34] . Keputusan Menteri Keuangan Nomor 502/KMK.05/2009 tentang Penetapan Universitas Jenderal Soedirman pada Departemen Pendidikan Nasional sebagai Instansi Pemerintah Yang Menerapkan Pola Keuangan Badan Layanan Umum
[35] . materi pendidikan FMN (Front Mahasiswa Nasional ranting Unsoed)
[36] . Film Dokumenter “Aksi SPI Unsoed” oleh Jaringan Mahasiswa anti-Pungli.
[37] . data yang dihimpun gerakan mahasiswa di Unsoed.

Ekopol

Diberdayakan oleh Blogger.

Technology

Education

Arts & Culture

 

© 2013 azmyfajar. All rights resevered. Designed by Templateism

Back To Top