(Mahasiswa Sosiologi 2008)
“Apabila gumam sudah menyatu dengan jiwa raga, maka gumam akan berubah menjadi teriakan-teriakan. Yang nantinya akan berubah menjadi gelombang salju yang besar yang nantinya akan mampu merobohkan istana yang penuh kepalsuan gedung-gedung yang dihuni kaum munafik” (Wiji Thukul)
Kebijakan pendidikan di Indonesia
setiap rezim selalu berubah dari Undang-undang Nomor 2 Tahun 1989 yang kemudian
diganti menjadi Undang-Undang nomor 20 tahun 2003 tentang sistem pendidikan
nasional.Segala tingkat pendidikan dari formal, non formal dan informal diatur
dalam seperangkat peraturan diatas. Bahkan memuat juga peraturan tentang
aksesbilitas, kurikulum sampai output dari institusi pendidikan.
Jika pendidikan masih dipandang
sebagai kebajikan dan bersifat netral maka kita haruslah membaca kritik Louis
Althuser “Sekolah (red: institusi
pendidikan) mengajarkan ‘know-how’, tetapi dalam bentuk yang memastikan
kepatuhan terhadap ideologi yang sedang berkuasa atau kepiawaian dalam praksis”. Berdasarkan
kutipan Althouser diatas sebelum kita membahas pendidikan maka kita akan
membahas maka kita harus melihat sejarah kondisi ekonomi-politik internasional
dan nasional yang mempengaruhi kebijakan dalam dunia pendidikan.
Pasca perang dunia kedua
(1942-1945), negara sekutu memiliki pengaruh yang besar di dunia internasional,
dengan kekuatan utama militer dan modal (capital).
Paham ekonomi liberalisme, pasca Amerika atau sekutu (red: kapitalisme)
memenangkan perang dingin dengan Rusia (Red: Sosialisme) adalah paham (red:
ideologi) pemenang. Indonesia sebagai pelaku internasional, ikut juga
terpengaruh dengan kondisi internasional dengan adanya tragedi G-30 September
tahun 1965, yaitu ‘dibasminya’ PKI dari tanah Indonesia seperti Jhon Rossa
mengatakan :
“Hampir dalam semalam pemerintah Indonesia berubah dari kekuatan yang di tengah-tengah perang dingin dengan garang menyuarakan netralitas dan antiimperialisme menjadi rekanan pendiam yang patuh kepada tatanan dunia AS”.
Orde baru yang dipimpin oleh
Soeharto adalah pembuka bagi investor-investor asing untuk menanamkan modalnya
di Indonesia. Presiden Soeharto dengan didukung oleh Tap MPRS No. XXII tentang
pembaharuan Kebijakan Landasan Ekonomi Keuangan dan Pembangunan negara
Indonesia mulai membuka kerjasama dengan IMF (International Monetary Fund) tahun 1967 untuk memperoleh hutang
melalui LoI (Letter of Intent)[3]. Pada tahun yang sama kebijakan
ekonomi mulai terbuka bagi investasi asing maka dibuatlah UU PMA atau
Undang-Undang Penanaman Modal Asing Nomor 1 tahun 1967. Peminat pertama
investasi di Indonesia adalah PT Freeport Indonesia Company pada tanggal 7
April 1967 atau seminggu setelah disahkan UU-PMA[4]. Selain IMF, pada masa orde baru,
Indonesia-pun bergabung dengan WTO tahun 1994 setelah diterbitkanya
Undang-Undang No.7 Tahun 1994 tanggal 2 Nopember 1994 tentang pengesahan
(ratifikasi) “Agreement Establising the
World Trade Organization”.
Pasca reformasi Indonesia sebagai
anggota WTO, ikut merundingkan beberapa isu pada KTM WTO Ke-IV tahun 2003 di
Hongkong. Isu pertama adalah AoA (Agreement
of Agriculture), yaitu perjanjian dalam bidang pertanian. Kedua adalah NAMA
(Non Agricultural Market Acsess),berupa
perjanjian perdagangan di luar produk
pertanian. Dan yang ketiga adalah GATS (General
Agreement on Tarrifs and Services). Dalam perundingan GATS (General Agreement on Tarrifs and Services),
pendidikan merupakan salah satu bidang dari 13 bidang yang akan diliberalisasi.
Hasil dari forum WTO tersebut langsung di terapkan di Indonesia dengan
diterbitkannya Undang-undang nomor 20 tahun 2003. Salah satu isinya adalah “Pendanaan pendidikan menjadi tanggung jawab
bersama antara Pemerintah, pemerintah daerah, dan masyarakat”[5]. Dengan
mengalihkan tanggung jawab negara tentang pendanaan pendidikan kepada
masyarakat merupakan salah satu indikasi proses liberalisasi pendidikan di
Indonesia. Undang-undang ini juga yang melahirkan beberapa kebijakan
meliberalisasikan perguruan tinggi seperti BHMN (Badan Hukum Milik Negara) dan
BLU (Badan Layanan Umum) pada jenjang perguruan tinggi.
Perubahan fundamental perekonomian Indonesia yang bersifat kapitalistik merambah segala aspek kehidupan, tak terkecuali dunia pendidikan. Pendidikan dimaknai sebagai kebutuhan tersier, kini menjadi bisnis yang “menggiurkan” bagi negara maupun swasta sendiri. Pendidikan sendiri menurut peraturan mengenai KHL (Kebutuhan Hidup Layak)[6] masuk dalam komponen yang menjadi standar seseorang dikatakan 'hidup dengan layak’, Standar KHL terdiri dari beberapa komponen yaitu :
Perubahan fundamental perekonomian Indonesia yang bersifat kapitalistik merambah segala aspek kehidupan, tak terkecuali dunia pendidikan. Pendidikan dimaknai sebagai kebutuhan tersier, kini menjadi bisnis yang “menggiurkan” bagi negara maupun swasta sendiri. Pendidikan sendiri menurut peraturan mengenai KHL (Kebutuhan Hidup Layak)[6] masuk dalam komponen yang menjadi standar seseorang dikatakan 'hidup dengan layak’, Standar KHL terdiri dari beberapa komponen yaitu :
- Makanan & Minuman (11 items)
- Sandang (9 items)
- Perumahan (19 items)
- Pendidikan (1 item)
- Kesehatan (3 items)
- Transportasi (1 item)
- Rekreasi dan Tabungan (2 item) [7]
Terbatasnya aksesbilitas terhadap
layanan pendidikan tinggi sampai sekarang juga bisa kita lihat dari data BPS
tahun 2010, bahwa penduduk yang berusia diatas 15 tahun hanya 6,87 persen yang
tamat pendidikan sampai perguruan tinggi[8], sedangkan penduduk yang tamat SMA
(Sekolah Menengah Atas) pada tahun 2010 sekitar 22,83 persen[9]. Dari data tersebut dapat dilihat
ada ‘jurang pemisah’ antara presentase lulusan SMA dengan lulusan Perguruan
tinggi.
Pembahasan aksesbilitas terhadap
institusi pendidikan terutama pendidikan tinggi masih belum menjadi persoalan
yang mendesak, padahal menurut konstitusi[10] sendiri hak rakyat atas pendidikan
telah diatur. Program ‘tambal sulam’ pemerintah, seperti beasiswa, bidikmisi
dan bantuan pendidikan tidak bisa menaikan presentase lulusan perguruan tinggi
dan hanya menjadi program wajib tahunan pemerintah dan swasta.
Masih banyaknya kalangan ilmuan
Indonesia yang memandang, pendidikan adalah sesuatu yang bijak (red: suci) dan
hanya menjadi transformasi nilai dan norma belaka.
Permasalahan akses pendidikan tinggi sangat jarang diperbincangkan dalam
kehidupan sehari-hari, mari kita membincangkan masalah rakyat ini, dengan
bergumam akan menjadi teriakan-teriakan keras bahwa Pendidikan itu adalah hak
seluruh rakyat Indonesia!
Salam
Demokrasi!
Belajar,
Berjuang dan Berorganisasi!
0 komentar:
Posting Komentar