Perjuangan melawan tirani di
Indonesia dalam pendidikan sudah
terjadi dari zaman kolonial karena
pembatasan akses pendidikan untuk kaum buruh tani, kaum miskin
kota maupun perempuan.
Kebijakan kolonial yang diskriminatif[1]
pada masa politik etis yang salah satunya adalah sekolah hanya untuk
kaum bangsawan maupun tuan tanah sehingga petani miskin tetaplah kaum yang jauh
akan rasanya mendapatkan pendidikan. Meski pada tahun
1818 telah dikeluarkan Regeringsreglement
untuk Hindia Belanda yang isinya antara lain membahas bahwa semua sekolah di
Hindia Belanda dapat dimasuki baik orang Eropa maupun penduduk jajahan[2]. Namun pada kenyataannya yang memasuki sekolah-sekolah pada saat itu, sedikit sekali yang berasal dari kalangan pribumi. Dan lulusan-lulusan dari
sekolah bentukan Kolonial Belanda, mereka akan menjadi penyambung tangan-tangan penjajah sebagai upaya Belanda untuk
memerintah secara tidak langsung kepada masyarakat dan bangsa Indonesia[3]. Menurut Ary Gunawan prinsip kebijakan pendidikan kolonial yaitu :
2. Pendidikan
diarahkan agar para lulusannya menjadi pencari kerja, terutama demi kepentingan
kaum penjajah.
3. Sistem
persekolahan disusun berdasarkan stratifikasi sosial yang ada dalam masyarakat.
4. Pendidikan
diarahkan untuk membentuk golongan elite sosial (penjilat penjajah) Belanda.
5. Dasar
pendidikannya adalah dasar pendidikan Barat dan berorientasi pada pengetahuan
dan kebudayaan barat[4].
Beralih ke Kemerdekaan Indonesia, itu menjadi momentum
menuju perbaikan kualitas manusia Indonesia, walaupun kondisi pendidikan masih
jauh dari kata ‘baik’. Pelaksanaan wajib belajar
menghadapi berbagai masalah, Jumlah sekolah dan guru belum memadai apalagi wajib belajar itu akan
dilaksanakan. Jumlah guru yang dididik masih sangat terbatas, selain
lulusan sekolah-sekolah guru Zaman kolonial[5].
Walaupun
itu Pasca kemerdekaan 1945 secara konstitusi, Indonesia menjamin
hak Warga
Negara
Indonesia akan pendidikan dengan dibuatnya Undang-undang Dasar 1945. Pendidikan sebagai
hak warga negara tertuang dalam Undang-undang Dasar 1945 Pasal
31 ayat (1) yang menyatakan “Setiap warga Negara berhak mendapat
pendidikan”. Hak warga negara dalam mendapatkan pendidikan sudah jelas
dilindungi secara konstitusi dasar Indonesia. Akhir dari
masa pemerintah Orde Lama, menuah hasil dengan 90 persen Rakyat Indonesia
menempuh Pendidikan Dasar[6]. Indonesia
pada era tersebut sangat mendukung pendidikan sebagai satu alat akselarasi
masyarakat menuju masyarakat adil dan makmur sesuai cita-cita UUD 1945[7].
Namun dalam
perkembangannya kebijakan akan pemenuhan hak mendapat pendidikan terutama
pendidikan tinggi tidaklah sepenuhnya dilaksanakan oleh negara ini. Sejarah
telah mencatat, kondisi Indonesia masih dalam kekangan Imperialisme[8]
hingga saat ini, yang mengeruk Sumber daya Alam[9]
dan keringat Rakyat Indonesia dengan menjadi buruh dan buruh tani[10]
semenjak Soeharto berkuasa tahun 1965. Kekangan Imperialisme-pun dirasakan
dalam bidang Pendidikan, melalui WTO (World Trade
Organization) atau Organisasi Perdagangan Dunia. Indonesia sendiri mulai
mengikatkan diri dalam WTO sejak tahun 1994. Dengan diterbitkanya Undang-Undang
No.7 Tahun 1994 tanggal 2 November
1994 tentang pengesahan (ratifikasi) “Agreement Establising the World Trade
Organization”, maka Indonesia secara resmi telah menjadi anggota WTO dan
semua persetujuan yang ada di dalamnya telah sah menjadi bagian dari legislasi
nasional. Produk Hukum Nasional
‘berbicara’, bahwa ketika Orde Baru berkuasa, Liberalisasi Pendidikan tinggi[11]
mulai diterapkan.
Liberalisasi
pendidikan tinggi sendiri sudah
ada sejak dikeluarkannya Undang-undang Nomor 2 Tahun
1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional[12].
Perguruan tinggi dianggap sebagai institusi yang mencetak pekerja-pekerja yang siap
dikerjakan di perusahaan nasional maupun
asing dalam rangka Investasi
(Link and Match).
Selain itu Undang-undang tersebut memuat
bahwa sebagian pembiayaan pendidikan dibebankan kepada
masyarakat[13]. Kebijakan terhadap
pendidikan pada masa Orde
baru terjadi penyesuaian terhadap Pasar Bebas dikarenakan
pembukaan Indonesia seluas-luasnya sebagai
lahan Investasi Asing[14]
dengan bergabungnya Indonesia dalam organisasi-organisasi internasional seperti
WTO, IMF dan World Bank[15]. Salah satu akibatnya lulusan
pendidikan tinggi diorientasikan menjadi
pekerja-pekerja di Perkebunan, Perkantoran, Pabrik dan Perusahaan tentunya untuk
kepentingan pasar yang dimonopoli oleh swasta Asing.
Hasil dari
reformasi Indonesia sama sekali tidak mengubah status anggotanya di WTO yang bergabung sejak 1995, akhirnya Indonesia ikut juga merundingkan
beberapa isu pada KTM (Konfrensi Tingkat Menteri) WTO Ke-IV tahun 2003 di
Hongkong. Isu pertama adalah AoA (Agreement
of Agriculture), yaitu perjanjian dalam bidang pertanian. Kedua adalah NAMA
(Non Agricultural Market Acsess),berupa
perjanjian perdagangan di luar produk
pertanian. Dan yang ketiga adalah GATS (General
Agreement on Tarrifs and Services). Dalam perundingan GATS (General Agreement on Tarrifs and Services),
pendidikan merupakan salah satu bidang dari 13 bidang yang akan diliberalisasi.
Pada tahun 2003 hasil dari forum WTO di Hongkong tersebut langsung di terapkan
di Indonesia dengan diterbitkannya Undang-undang nomor 20 tahun 2003. Seperti yang dikutip UNESCO di bidang pendidikan, “Pendidikan tinggi di Indonesia dituntut untuk meliberalisasi
pendidikan tinggi untuk kepentingan pasar bebas sesuai hasil forum WTO”[16]. Akibat dari ratifikasi perjanjian WTO terhadap pendidikan dinyatakan oleh
pernyataan mantan rektor UGM dalam sebuah seminar :
Melalui
penandatangan GATS tersebut
sebenarnya Pemerintah Indonesia telah menggeser pandangan tentang penyelenggaraan
pendidikan dari suatu kegiatan yang sepenuhnya merupakan tanggungjawab
pemerintah menunju kepada tanggung jawab bersama antara pemerintah pusat,
pemerintah daerah dan masyarakat sebagaimana tercantum dalam UU No. 20 tahun
2003 tentang Sisdiknas.[17]
Kebijakan akan pendidikan yang
didasarkan Undang-undang no. 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional
menuai pro-kontra. Tidak sedikit pihak kontra akan kebijakan Sisdiknas, yang
dianggap sebagai pesanan asing (WTO,
IMF dan World Bank) karena berusaha sedikit demi sedikit melepaskan negara dari
tanggung jawabnya akan pendanaan pendidikan (liberalisasi)[18].
Akses terhadap pendidikan tinggi yang sulit menjadi akibat yang harus ditanggung rakyat Indonesia, dari data
BPS tahun 2010, total penduduk Indonesia yang berumur 15 tahun keatas sebesar
22,83 persen hanya lulusan SMA (Sekolah Menengah Atas) dan lebih kecil lagi,
sebesar 6,87 persen yang berhasil menamatkan Perguruan tinggi. Artinya sebesar 70 persen lebih Penduduk Indonesia hanya tamat SD (Sekolah
Dasar) dan SMP (Sekolah Menengah Pertama).[19]
Bahkan Indonesia dengan Indeks
Pembangunan Manusia (IPM) tercatat tahun 2012 hanya menempati peringkat ke-122
dari 187 negara dan rata-rata sekolah penduduk Indonesia hanya sampai 5,8 tahun[20], dengan kata
lain rata-rata penduduk Indonesia tidak menamatkan Sekolah Dasar (SD).
Sedikitnya peran pemerintah akan pendidikan tinggi juga bisa dilihat dari kuantitas
institusi peguruan tinggi yang didominasi swasta yaitu sekitar 97,24% atau
sejumlah 2.928 perguruan tinggi. Sedangkan perguruan tinggi negeri di Indonesia
hanya sejumlah 83 perguruan tinggi atau hanya sekitar 2,76%[21].
Dengan lebih banyaknya Peguruan tinggi swasta dibandingkan Peguruan tinggi
negeri maka bisnis pendidikan tinggi semakin meningkat. Masalah
yang saat ini masih terus dialami oleh rakyat Indonesia terutama dalam bidang
Pendidikan, telah memunculkan berbagai perlawanan, terhadap kebijakan-kebijakan
pemerintah terutama oleh Mahasiswa.
Sejarah
telah mencatat peranan yang besar yang dilakukan oleh gerakan sosial mahasiswa yang
memicu terjadinya perubahan sosial.
Secara empirik kekuatan mereka terbukti dalam serangkaian peristiwa
penggulingan, antara lain seperti Juan Peron di Argentina tahun 1955, Perez
Jimenez di Venezuela tahun 1958, De Gaulle di Perancis tahun 1968, Ayub
Khan di Pakistan tahun 1969, Reza Pahlevi di Iran tahun 1979, Chun Doo Hwan di
Korea Selatan tahun 1987, Ferdinand Marcos di Filipina tahun 1985. Sebagian
besar peristiwa pengulingan kekuasaan itu memang bukan menjadi monopoli gerakan
mahasiswa sehingga tercipta gerakan revolusioner, namun gerakan mahasiswa lewat
aksi-aksi mereka yang bersifat massif politis telah terbukti menjadi penggerak
yang sangat penting bagi penciptaan gerakan rakyat dalam menentang kekuasaan.[22]
Gerakan mahasiswa di Indonesia dapat dilihat pada masa pasca proklamasi kemerdekaan, dimana pada
saat itu muncul berbagai organisasi mahasiswa dengan dasar ideologi yang
berbeda-beda. Pada tanggal 5 Februari 1947 diresmikan terbentuknya Himpunan
Mahasiswa Islam (HMI), kemudian diikuti berdirinya Gerakan Mahasiswa Kristen
Indonesia (GMKI) dan kemudian disusul dengan berdirinya Perhimpunan Mahasiswa
Khatolik Republik Indoenesia (PMKRI). Organisasi-organisasi mahasiswa ini
menggunakan ideologi agama seperti Islam, Kristen dan Khatolik. Kemunculan
organisasi-organisasi mahasiswa ini
mengikuti lahirnya partai-partai politik yang juga menggunakan basis ideologi
agama seperti Masyumi yang berdiri tanggal 7 Nopember 1945 dan Partai Khatolik
yang berdiri tangal 8 Desaember 1945.
Sementara partai besar lainnya yaitu Partai Nasional Indonesia juga memiliki
organisasi gerakan mahasiswa yaitu Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia yang
berdiri tanggal 23 Maret 1954. Comite Gerakan Mahasiswa Indoensia
(CGMI) dibentuk pada 1956 sebagai hasil penggabungan tiga organisasi kecil
mahasiswa di Bandung, Bogor dan Yogyakarta. Pada Kongres CGMI ke IV tahun 1964
di Jakarta dinyatakan bahwa CGMI akan mendekati partai yang
berpihak kepada rakyat. Dalam perkembangannya CGMI memiliki kedekatan dengan
PKI.[23]
Di
tahun 1965, gerakan mahasiswa menjadi
lebih terkonsolidasi ketika dibentuknya Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia (KAMMI)
tanggal 25 Oktober 1965. KAMMI terdiri dari sejumlah
organisasi seperti HMI, PMKRI, Sekretariat Bersama Organisasi-organisasi
Lokal (SOMAL), Mahasiswa Pancasila (Mapancas), dan Pergerakan Mahasiswa Islam
Indonesia (PMII). Pembentukan KAMMI atas pertimbangan bahwa
belum adanya jaringan nasional atau organisasi secara rapi. Kemunculan KAMI
tersebut membuat isu yang dibawa mahasiswa menjadi lebih terfokus menjadi
Tritura (Tri Tuntutan Rakyat). Isi dari tuntutan tersebut adalah: bubarkan PKI,
retool kabinet Dwikora dan turunkan harga barang[24].
Pada akhirnya gerakan mahasiswa ini berhasil meruntuhkan rezim orde lama yang
akhirnya berganti dengan orde baru.
Memasuki
tahun 1972 mahasiswa terus melancarkan aksi, terutama karena dipicu kondisi
ekonomi yang memburuk, dimana harga beras naik karena keteledoran pemerintah
dalam pengadaan beras sesudah kemarau panjang. Setahun kemudian, aksi-aksi
mahasiswa mengusung isu korupsi. Awal tahun 1974, gerakan mahasiswa memuncak
dengan meletusnya Malapetaka Lima Belas Januari (Malari), dimana para tokoh
mahasiswa banyak yang ditangkapi dan dipenjarakan. Dalam aksinya saat itu
mahasiswa mencetuskan “Tritura” versi baru yang berisi: ganyang korupsi,
bubarkan asisten pribadi, dan turunkan harga.[25]
Pasca
peristiwa Malari, kontrol terhadap aktivitas mahasiswa di dalam kampus semakin
diperketat. Selain itu pers mahasiswa harus diawasi oleh Menteri Penerangan dan
birokrat kampus, dan peraturan yang mengharuskan organisasi mahasiswa yang
berafiliasi dengan partai untuk bergabung menjadi satu organisasi yang diatur
oleh rezim.[26]
Gerakan
mahasiswa kembali menghangat pada tahun 1977 karena situasi ekonomi-politik
saat itu. Kondisi ekonomi semakin timpang dengan ditunjukan oleh disparitas
ditribusi kekayaan nasional dimana 40% penduduk miskin menguasai kekayaan
nasional sebesar 15%, 40% penduduk menengah memegang kekayaan nasional sebesar
40% dan 20% penduduk lapisan atas menguasai 45% kekayaan negara. Selain itu
jumlah pengangguran juga meningkat tajam dari 3,6 juta pada tahun 1961 menjadi
8,3 juta.[27]
Pemilu
1977 menjadi momentum kembalinya gerakan mahasiswa. Di Jakarta mahasiswa
melakukan aksi sebagai protes atas pelaksanaan pemilu yang tidak jujur karena
birokrasi sipil dan militer yang memihak. Mereka menolak kemenangan Golkar yang
dihasilkan oleh pemilu yang cacat.[28]
Gerakan
mahasiswa terus berlanjut pada tahun berikutnya. Di tahun 1978 gerakan
mahasiswa bahkan mengusung isu pergantian kepala negara. Melihat itu pemerintah
berupaya mengeliminasi mahasiswa dari kegiatan politik dengan menerapkan
kebijakan Normalisasi Kehidupan Kampus (NKK) dan Badan Koordinasi Kemahasiswaan
(BKK). Kebijakan ini membuat mahasiswa hanya boleh melakukan kegiatan kampus
dan dilarang berhubungan dengan kehidupan politik praktis serta mengontrol
kegiatan mahasiswa baik kurikuler maupun non kurikuler yang dilaksanakan oleh
pimpinan perguruan tinggi.[29]
Dari tahun
1967-1998, kurang lebih 32 tahun Soeharto berada ditampuk kekuasaannya. Krisis Moneter, KKN dan
Kelangkaan pangan terjadi di Indonesia, kontradiksi semakin memuncak ketika
gerakan-gerakan mahasiswa di perkotaan semakin besar. Mahasiswa pada tahun 1990-an
mengakumulasi kekuatannya untuk menumbangkan kekuasaan Soeharto. Seperti di Semarang gerakan
mahasiswa dimulai dari tahun 1992 dengan bergeraknya mahasiswa (Fakultas Sastra
Universitas Diponegoro)[30].
Akumulasi kekuatan mahasiswa berupa gerakan reformasi memuncak pada tahun 1998
di Jakarta, tetapi isu yang ada hanya masalah penggulingan kekuasaan Soeharto,
tanpa menyentuh tuntutan perubahan
struktur, peraturan dan kerjasama Internasional,
bahkan tidak mampu menyentuh kebijakan akan pendidikan.
Klasifikasi
model gerakan mahasiswa yang mengangkat isu-isu tertentu ini seperti yang
diungkapkan oleh Andik Matulessy. Menurutnya kelompok Organisasi mahasiswa terbagi dalam tiga kelompok. Kelompok pertama adalah
kelompok yang keberadaannya secara formal direstui oleh pihak perguruan tinggi
dalam bentuk organisasi intra kampus seperti BEM. Kelompok kedua adalah
kelompok yang mendasarkan pada afiliasi politik yang menjadi bidang
kelahirannya. Misalkan saja GMNI dan HMI. Kelompok ketiga adalah kelompok yang
muncul karena isu tertentu dan cenderung berkolaborasi dengan elemen mahasiswa
yang lain, Kelompok terakhir ini lebih lantang menyuarakan suara kritisnya[31].
Contoh dari kelompok ini adalah kemunculan FMN (Front Mahasiswa Nasional) pada tahun 2003 atas keresahannya kondisi
objektif gerakan mahasiswa yang semakin pragmatis dan terjatuh dalam heroisme dan romantisme pasca reformasi
1998 di Jakarta dan semakin melupakan sektor mahasiswa yaitu sektor pendidikan.
Gerakan Sosial yang mengusung perubahan akan pendidikan rakyat sangatlah banyak pasca
reformasi ‘berkumandang’, dari “Gerakan
Indonesia Mengajar” yang dipelopori oleh Anies Baswedan. Gerakan Bhineka Ceria
yang digerakan oleh HMI (Himpunan Mahasiswa Islam) Purwokerto dan
gerakan-gerakan ‘moralis’ lainnya. Namun
Gerakan menentang kebijakan pemerintah akan pendidikan sangatlah sedikit karena
dianggap gerakan ini tidaklah berpengaruh langsung terhadap masyarakat dan
terlalu ‘politis’. Gerakan mahasiswa yang
relevan untuk kelas mahasiswa menyelesaikan kontradiksi mahasiswa sendiri.
Beberapa masalah yang harus diselesaikan oleh Mahasiswa antara lain :
1. Biaya
kuliah murah
2. Peningkatan
fasilitas pendidikan di kampus
3. Kebebasan
berpendapat dan berorganisasi di kampus
4. Penghentian
represifitas terhadap mahasiswa
5. Pemberantasan
segala bentuk pungutan liar di kampus
6. Pelibatan
mahasiswa secara menyeluruh dalam menentukan kebijakan kampus
7. Transparansi
pengelolaan dana operasional kampus
8. Peningkatan
kesejahteraan dosen, karyawan dan guru
9. Pendidikan
gratis bagi seluruh rakyat Indonesia
10. Lapangan
pekerjaan bagi sarjana dan pemuda
11. Pemberantasan
korupsi di dalam dunia pendidikan
12. Pemberantasan
buta huruf, dll.[32].
Universitas Jenderal Soedirman sebagai Universitas Negeri yang dahulu
dikenal sebagai ‘Kampus Rakyat’, kini berubah menjadi Badan Layanan Umum (BLU)
yang salah satu kegiatannya adalah Layanan Usaha di bidang pendidikan[33]. Unsoed yang sudah
berumur 50 tahun, kini menjadi salah satu Universitas BLU (Badan Layanan Umum)[34] dengan otonomi kampus
dalam penentuan biaya pendidikan adalah salah satu otoritasnya.
Kebijakan akan tarif biaya pendidikan di Unsoed dari SPI (Sumbangan
Pengelolaan Institusi), POM (Persatuan Orang Tua Mahasiswa), POOM (Persatuan
Orang Tua Mahasiswa), BOPP (Biaya Operasional Pelayanan Pendidikan), BFP (Biaya
Fasilitas Pendidikan) dan UKT (Uang Kuliah Tunggal) selalu menuai masalah bagi
mahasiswa[35].
Salah satu penolakan terhadap kebijakan biaya pendidikan di Unsoed yang
terdokumentasi tahun 2004 adalah aksi penolakan SPI (Sumbangan Pengelolaan Institusi) oleh mahasiswa Unsoed.
SPI dinilai memberatkan mahasiswa karena penarikan SPI tak sesuai pada kemampuan
ekonomi mahasiswa Unsoed pada saat itu[36]. Kebijakan tarif pendidikan
tinggi di Universitas Jenderal Soedirman Purwokerto dari tahun ke tahun selalu
menuai banyak protes. Dengan terus naiknya tarif pendidikan selama 10 tahun
(2002 – 2012) di Unsoedyang mencapai 400%[37], membuat mahasiswa kini terus
bergerak melawan kebijakan Universitas
tentang tarif pendidikan tanpa dibatasi oleh
sekat-sekat Organisasi Ekstra maupun Intra Kampus. Pada tahun 2012 tejadi
protes kebijakan pendidikan Tinggi di Unsoed melibatkan sekitar 4.000 mahasiswa turun ke
jalan menyuarakan protesnya terhadap kebijakan Universitas Jenderal Soedirman dalam
pemutusan UKT (Uang Kuliah Tunggal) sebagai sistem pembiayaan pendidikan tinggi
yang nominalnya sangat tinggi.
Gerakan Save Soedirman begitulah mahasiswa menyebutnya sebagai terobosan
gerakan kontemporer yang mampu menarik partisipasi banyak orang. Dari Hand band, Konser antar-fakultas, Reboan, Flashmob, Web Savesoedirman, Occupy
Rectorat, Aksi “Telah mati hati nurani Rektorat” “Mosi Tidak Percaya Rektorat”,
sampai Gugatan Mahasiswa ke PTUN. Dalam penelitian ini, peneliti yang ikut
dalam gerakan Savesoedirman akan menggambarkan secara detil gerakan ‘Save
Soedirman’ sebagai Gerakan sosial mahasiswa dalam menuntut hak-hak demokratisnya
dalam memperoleh pendidikan
yang murah.
[1] . Peraturan umum tentang pendidikan sekolah yang
berisi bahwa pendidikan hanya untuk orang Belanda saja (Muhammad Said dan
Junimar Affan. 1987. Mendidik dari Zaman Ke Zaman. Bandung: Jemmars hlm 3.)
[2] . Supriadi, Dedi (Ed.). 2003. Guru di
Indonesia: Pendidikan, Pelatihan, dan Perjuangan Sejak Zaman Kolonial hingga
Era Reformasi. Jakarta: Depdikbud. Hlm 42
[3]. Rifa’i, Muhammad. 2011. Sejarah Pendidikan Nasional Dari Masa Klasik
Hingga Modern. Jogjakarta: Ar-Ruzz Media hlm 67-68
[4] . ibid. (Rifa’I, 2001) hlm 67
[5] . Abdurrohim,
Pendidikan Sebagai Upaya Rekonstruksi Sosial, posted by Almuttaqin
at11:41 PM , http://almuttaqin-uinbi2b.blogspot.com/2008/04/Abdurrohim diambil pada 2 April 2014
[6] . Moh.
Yamin, Menggugat Pendidikan Indonesia. (Jogjakarta: Ar Ruz, 2009), hlm.
92
[7] . Ibid, 2009, hlm. 92
[8] . “Baik dalam
arti dominasi penuh; trust-trust, dalam arti kemahakuasaan bank-bank besar,
maupun dalam arti politik kolonial secara besar-besaran” oleh (‘Negara dan Revolusi’ V.I.Lenin: 1917).
Imperialisme adalah ekspansi global Trans
National Corporation (TNC) dan MultiNational
Corporation (MNC) seperti General Motor, Freeport, Exxon Mobile, Microsoft
dan sebagainya lewat institusi Negara melalui Organisasi Internasional (IMF,WTO
dan World Bank) lihat Film Dokumenter ‘The Rules of The World” John Pigler :
2007
[9] . Dengan
dikeluarkannya Undang-undang No. 1 tahun 1967 tentang Penanaman Modal Asing (UU
PMA) dan di revisi menjadi Undang-undang no. 25 tahun 2007 tentang Penanaman
modal Asing.
[10] .
Richard Nixon selaku presiden Amerika Serikat pada saat itu berkomentar “Dengan 100 Juta penduduknya dan 300 mil
busur pulau-pulau yang berisi persediaan sumber daya Alam terkaya di daerah
tersebut, Indonesia adalah hadiah terbesar di Asia tenggara”. John Pilger, The
New Rulers of the world, London, New York: Verso, 2002 hlm 15. Lihat juga Film Dokumenter “New Rulers of the World”, John Pilger,
2002. dalam “Bergerak Bersama Rakyat! :
Sejarah Mahasiswa dan Perubahan Sosial di Indonesia”.2007.Suharsih dan Ign
Mahendra K. hlm 2.Resist Book. Yogyakarta”
[11] .
Liberalisasi pendidikan tingi adalah konsep pengelolaan institusi pendidikan
yang menetapkan
pendidikan sebagai salah satu industri sektor tersier, yang kegiatan pokoknya adalah
mentransformasi orang yang tidak berpengetahuan dan orang yang tidak mempunyai
keterampilan menjadi orang yang berpengetahuan dan mempunyai
keterampilan (human services) (Makalah yang disampaikan
oleh prof. Sofyan Efendi sebagai Rektor UGM pada acara Diskusi “GATS:
Neo-imprialisme modern dalam Pendidikan” diselenggarakan oleh BEM KM
UGM, Ygoayakarta, 22 September 2005)
[12] . direvisi menjadi
Undang-undang no. 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional
[13] . Pasal 1 ayat 10
“Sumber daya pendidikan adalah pendukung dan penunjang pelaksanaan pendidikan
yang terwujud sebagai tenaga, dana, sarana dan prasarana yang tersedia
atau diadakan dan didayagunakan oleh
keluarga, masyarakat, peserta didik dan Pemerintah, baik sendiri-sendiri maupun bersamasama”.
Pembagian peran dalam tenaga, dana dan prasarana kepada masyarakat adalah
proses awal pemerintah Orde baru dalam mengkomersilkan pendidikan terutama
pendidikan tinggi. Selain itu kebijakan SPP (Sumbangan Pelayanan Pendidikan)
pertama kali diterapkan pada masa orde baru.
[14] . Undang-Undang no. 1
tahun 1967 tentang penanaman modal asing yang kemudian direvisi menjadi
Undang-Undang no. 25 tahun 2007 tentang penanaman modal asing
[15] . Dengan diterbitkannya
Undang-undang Penanaman Modal Asing, UU pengadaan tanah untuk kepentingan umum,
Undang-undang perkebunan, Undang-Undang Pertambangan merupakan ‘pengabdian’
Presiden Soeharto terhadap pemodal asing untuk pengeksplorasian SDA Indonesia
oleh Asing.
[16] . UNESCO.2002.Education Today : Higher Education for Sale3rd
edition.France
[17] .
Makalah yang disampaikan oleh prof. Sofyan Efendi sebagai Rektor UGM pada acara
Diskusi “GATS: Neo-imprialisme modern dalam Pendidkan” diselenggarakan
oleh BEM KM UGM, Yogyakarta, 22 September 2005.
[18] . Undang-undang no 20 tahun 2003 tentang Sistem
pendidikan Nasional membagi Pendanaan pendidikan menjadi 3 bagian, yaitu Pemerintah Pusat,
Pemda, dan Masyarakat seperti termuat dalam pasal 46 ayat 1 “Pendanaan pendidikan menjadi tanggung jawab
bersama antara Pemerintah, pemerintah daerah, dan masyarakat.”selain itu
pasal 9 yang berbunyi ““Masyarakat berkewajiban
memberikan dukungan sumber daya dalam penyelenggaraan pendidikan”. Pasal tersebut dijadikan sebagai alat legitimasi
oleh seluruh universitas di Indonesia untuk menerapkan kebijakan melakukan
pungutan terhadap orangtua mahasiswa berupa sumbangan
pembiayaan pendidikan yang ditentukan oleh pihak universitas, dengan melibatkan
senat dan rektorat.
[19] . BPS tahun 2010
[20] . Wahyudi, M. Said.Kualitas Manusia Jadi Taruhan.Kompas
Cetak : Jum’at 25 Oktober 2013
[21] . data kementerian
nasional pendidikan indonesia tahun 2010.
[22] Lihat dalam http://www.transparansi.or.id/Majalah/Edisi20/20berita_4.html, diakses tanggal 10 Maret 2013
[23] Lihat dalam Suharsih
dan Ign Mahendra K, Bergerak Bersama Rakyat; Sejarah gerakan Mahasiswa dan
Perubahan Sosial di Indonesia, hal 68.
[24] Ibid. Hal 72.
[25] Loc .cit.
[26] op.cit. Hal 84
[27] Lihat dalam Suharsih dan
Ign Mahendra K, Bergerak Bersama Rakyat; Sejarah gerakan Mahasiswa dan
Perubahan Sosial di Indonesia Hal 84
[28] Ibid. Hal 84
[29] Ibid. Hal 87
[30] . Aryono. 2009. Jalan
Mendaki Menuju Reformasi: Gerakan Mahasiswa di Semarang Tahun 1990-1998.
Universitas Diponegoro.
[31] Andik Matulessy, 2005, Mahasiswa dan Gerakan Sosial, Surabaya:
Srikandi.Hum
[32] . 12 Program Perjuangan
Front Mahasiswa Nasional (FMN) dalam Materi Pendidikan Anggota FMN
[33] . Jawaban dari Kuasa
Hukum Rektorat Unsoed atas Gugatan Mahasiswa terhadap SK UKT tahun 2012 di PTUN
(Pengadilan Tata Usaha Negara).
[34] . Keputusan Menteri
Keuangan Nomor 502/KMK.05/2009 tentang Penetapan Universitas Jenderal Soedirman
pada Departemen Pendidikan Nasional sebagai Instansi Pemerintah Yang Menerapkan
Pola Keuangan Badan Layanan Umum
[35] . materi pendidikan FMN
(Front Mahasiswa Nasional ranting Unsoed)
[36] . Film Dokumenter “Aksi
SPI Unsoed” oleh Jaringan Mahasiswa anti-Pungli.
[37] . data yang dihimpun
gerakan mahasiswa di Unsoed.
0 komentar:
Posting Komentar