Oleh Azmi Fajar Maulana
(Sosiologi 2008)
Hidup
tak lagi sama, konglomerasi pesta....Diskriminasi harga untuk kita semua, kado
bersama-sama di musim petik tiba, Yang muda lari ke kota, berharap tanahnya
mulia kosong di depan mata, banyak asap di sana, Menanam tak bisa, menangis pun
sama, Gantung cita-cita di tepian kota (Efek Rumah Kaca –Banyak Asap Disana)
Petani,
bukanlah hal yang menarik lagi bagi pemuda Indonesia sekarang. Tani adalah
kegiatan orang tua kata seorang pemuda desa yang saya temui di Desa Ketengger[1]. Ibu-ibu
dan anak-anak tani lebih memilih menonton Televisi atau nge-gosip daripada harus mengantarkan makanan ke sawah ataupun
menemani ayah yang berkeringat menanam padi ditemani sengatnya matahari. Tak
sedikit petani menjual lahan garapan mereka demi kemewahan yang tak mungkin
didapat dari petani. Kemanakah petani
yang bernyanyi dengan kerbaunya? Sedang memandang kotak hitam bergambar.
Kini,
dulu kaki berlumpur digantikan kuda besi beroda, tanah becek dilindas aspal
hitam, kerbau bertanduk ‘dibunuh’ hewan kotak-kotak, dulu gubuk kecil menjelma
menjadi rumah berlapis rumah. Pergi ke kota adalah pilihan yang ditempuh oleh
banyak anak tani, daripada mencangkul kikisan nasi bersama kerbau berbau
kotoran itu. Para kaum tua menghabiskan deret umur dengan cangkul dan clurit ditemani rumput liar makanan
kerbau dan gubuk miring.
Musim
kemarau adalah waktunya petani menunggang kuda besi beroda dengan tumpangan
orang-orang yang akan pergi ke suatu tempat. Kekeringan terasa lebih lama
daripada biasanya, tenang jangan khawatir, ojek motor adalah cara subsisten yang harus dilakukan petani di
Desa Pamiritan[2].
Musim penghujan adalah waktunya bertani kembali, namun tidak lupa bertani itu
hanya untuk orang tua saja dan anak-anaknya pergi ke Sekolah tempat ‘mesin
pencucian otak’ menyuntikan kurikulum ‘petani itu pekerjaan sia-sia’.
Petani tak punya tanah
Dari data 60% atau 120 juta penduduk Indonesia
tinggal di pedesaan dan 70% di antaranya hidup dari pertanian. Setengah dari
jumlah itu adalah petani gurem atau petani yang memiliki lahan kurang dari 0,5
ha, bahkan sebagian besar bekerja sebagai buruh tani dan buruh perkebunan.
Ada data yang mengagetkanku menurut Joyo Winoto, Mantan Kepala Badan Pertanahan
Nasional (BPN), 56 persen aset (properti, tanah, dan
perkebunan) dikuasai hanya oleh 0,2 persen penduduk Indonesia.
Selain itu ada 301 perusahaan Hak Pengusahaan Hutan
(HPH) dan 262 unit perusahaan Hutan Tanaman Industri
(HTI) menguasai 42 juta hektar hutan. Aku berpikir di
malam hari “apakah sebesar itu kuasa
korporasi dan negara dibandingkan rakyat? Menurut saudara saya yang tinggal di
Jawa, Indonesia adalah negara Demokrasi”. Lamunan pikiran ini kurasakan
sebagai nyanyian nina bobo malam
pertamaku di Indonesia.
Joni
memaparkan data yang mencengangkan “Tahun
2012 ini, sudah terjadi 101 konflik agraria diseluruh Indonesia dengan luasan areal yang diperebutkan
377.159 hektare dan korban lebih dari 25 ribu keluarga petani menurut Konsorsium
Pembaharuan Agraria juni yang lalu”. Aku sedikit bertanya “Bagaimana pada tahun 2011?” dengan suara
pelan sambil tersenyum sinis dia menjawab “itu
adalah tahun ‘pembantaian’ petani”. Suasana ramai kampus tiba-tiba menjadi
sunyi setelah mendengar Joni mengucapkan itu. “163 kasus konflik agraria dengan 22 petani terbunuh, dan itu fakta”. Dia
menutup perbincangan itu dengan sangat ‘dingin’.
Tiga hari di Jakarta, aku berangkat kedaerah-daerah
di Pulau Jawa. Sepuluh jam perjalanan, setelah aku lihat di GPS, ternyata aku berada di Kabupaten
Banyumas Kecamatan ajibarang. Sebelum meneruskan perjalanan, aku memutuskan
untuk sekedar mampir makan di warung
Bakso di pertigaan Jalan Raya Ajibarang. Kududuk di sebelah sekelompok orang
tua dengan Kaos Hitam, dari perbincangan mereka, semakin membuatku penasaran tentang
konflik tanah petani dengan sebuah perusahaan perkebunan. Dengan sedikit kaku
aku mencoba bergabung di lingkaran mereka. Dimulai dengan perkenalan, ternyata
mereka adalah kelompok Serikat Tani AMPERA (Amanah Penderitaan Rakyat) di Desa
Darmakradenan. Mereka sedang berjuang membebaskan tanah garapan yang dimiliki
oleh Perusahaan Kebun Cokelat PT. RSA (Rumpun Sari Antan) seluas 227,65
Ha.
Dengan
senang mereka manjabarkan kronologi kasus tersebut “Petani butuh tanah garapan, tanah nenek moyang kami yang dijual ke
korporasi harus kami rebut!”. Dengan lantang petani itu bicara “Cabut HGU (Hak Guna Usaha) PT. RSA dan
Ganyang Setan-setan Desa”. Ternyata perjuangan petani yang berjumlah lebih
dari 1.500 orang itu, banyak mengalami tentangan baik dari Korporasi dan
Pemerintah maupun dari tuan tanah di Desa Darmakradenan. Satu jam berlalu
dengan cepat, tibalah perbincangan terakhir kami, Reforma Agraria sejati menjadi kebutuhan yang mendesak
bagi Rakyat. Berenam serentak ucapkan bersama-sama satu kalimat “Bersatu
rebut tanah untuk Rakyat!!”
Aku
sangat penasaran “apa yang terjadi dengan
Indonesia?” dalam sebuah situs Masterplan Percepatan dan Perluasan
Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3EI) 2011-2025, memperlihatkan kepadaku bahwa
konsep pembangunan nasional jangka panjang telah direncanakan untuk
memposisikan Indonesia sebagai penyedia bahan baku pertanian dan pertambangan
bagi kepentingan Negara maju di tandai dengan proyek-proyek industri pangan.
Konsekuensi logis untuk sektor pertanian menurut MP3EI adalah pertanian
berbasiskan pemenuhan kebutuhan pasar, bukan pertanian subsisten. Tetapi jika
aku mengutip perkataan petani STAN AMPERA “Pertanian
kami hanya untuk sekedar hidup keturunan kami, tidak meminta lebih” konsep pertanian
kapitalistik itu bakal menyingkirkan
petani, apalagi buruh tani tanpa tanah.
Dalam
lamunan pulangku, “petani di Indonesia ‘bak
Ayam mati dilumbung padi”. Catatan harian di Indonesia kututup, “aku adalah orang numpang lewat, orang asing
yang tidak merasakan usus-usus kelaparan keluarga buruh tani. Bagaimana bisa mengubah hidup kaum tani?
apakah saya bisa mengharapkan orang
Indonesia untuk berubah? tapi bagaimanapun kekuasaan rakyat harus dikembalikan
pada posisi tertinggi, bukan pada korporasi dan bukan pada pemerintah!”.
Salamku pada rakyat Indonesia yang masih merasa nyaman “keadaan nyaman anda bukanlah milik anda, tetapi milik kapitalis dan milik
penguasa”.
Hidup
Rakyat!
Tegakan
Reforma Agraria Sejati!
0 komentar:
Posting Komentar