Jumat, 26 April 2013

Petani Jangan 'dibunuh' : Refleksi Nasib Petani

21.23


Oleh Azmi Fajar Maulana
(Sosiologi 2008)
Hidup tak lagi sama, konglomerasi pesta....Diskriminasi harga untuk kita semua, kado bersama-sama di musim petik tiba, Yang muda lari ke kota, berharap tanahnya mulia kosong di depan mata, banyak asap di sana, Menanam tak bisa, menangis pun sama, Gantung cita-cita di tepian kota (Efek Rumah Kaca –Banyak Asap Disana)
 
Petani, bukanlah hal yang menarik lagi bagi pemuda Indonesia sekarang. Tani adalah kegiatan orang tua kata seorang pemuda desa yang saya temui di Desa Ketengger[1]. Ibu-ibu dan anak-anak tani lebih memilih menonton Televisi atau nge-gosip daripada harus mengantarkan makanan ke sawah ataupun menemani ayah yang berkeringat menanam padi ditemani sengatnya matahari. Tak sedikit petani menjual lahan garapan mereka demi kemewahan yang tak mungkin didapat dari petani. Kemanakah petani yang bernyanyi dengan kerbaunya? Sedang memandang kotak hitam bergambar.
Kini, dulu kaki berlumpur digantikan kuda besi beroda, tanah becek dilindas aspal hitam, kerbau bertanduk ‘dibunuh’ hewan kotak-kotak, dulu gubuk kecil menjelma menjadi rumah berlapis rumah. Pergi ke kota adalah pilihan yang ditempuh oleh banyak anak tani, daripada mencangkul kikisan nasi bersama kerbau berbau kotoran itu. Para kaum tua menghabiskan deret umur dengan cangkul dan clurit ditemani rumput liar makanan kerbau dan gubuk miring.
Musim kemarau adalah waktunya petani menunggang kuda besi beroda dengan tumpangan orang-orang yang akan pergi ke suatu tempat. Kekeringan terasa lebih lama daripada biasanya, tenang  jangan khawatir, ojek motor adalah cara subsisten yang harus dilakukan petani di Desa Pamiritan[2]. Musim penghujan adalah waktunya bertani kembali, namun tidak lupa bertani itu hanya untuk orang tua saja dan anak-anaknya pergi ke Sekolah tempat ‘mesin pencucian otak’ menyuntikan kurikulum ‘petani itu pekerjaan sia-sia’.
 
Petani tak punya tanah
Dari data 60% atau 120 juta penduduk Indonesia tinggal di pedesaan dan 70% di antaranya hidup dari pertanian. Setengah dari jumlah itu adalah petani gurem atau petani yang memiliki lahan kurang dari 0,5 ha, bahkan sebagian besar bekerja sebagai buruh tani dan buruh perkebunan.
 
Ada data yang mengagetkanku menurut Joyo Winoto, Mantan Kepala  Badan  Pertanahan Nasional (BPN), 56 persen aset (properti, tanah, dan perkebunan) dikuasai hanya oleh 0,2  persen penduduk Indonesia. Selain itu ada 301  perusahaan  Hak  Pengusahaan  Hutan  (HPH)  dan  262  unit perusahaan Hutan Tanaman Industri  (HTI) menguasai 42  juta  hektar hutan. Aku berpikir di malam hari “apakah sebesar itu kuasa korporasi dan negara dibandingkan rakyat? Menurut saudara saya yang tinggal di Jawa, Indonesia adalah negara Demokrasi”. Lamunan pikiran ini kurasakan sebagai nyanyian nina bobo malam pertamaku di Indonesia.
Besoknya jam setengah 6 aku sudah mandi, sesuai dengan semangat petani di Indonesia yang tersohor sampai ke luar negeri. Sesuai dengan jadwalku, hari ini jadwal bertemu dengan seorang mahasiswa Fakultas Pertanian sebuah Universitas negeri di Bogor bernama Joni. Sambil menikmati kopi kami berbincang masalah pertanian di Indonesia, dengan aku tunjukan data-data, dia menanggapi “Tujuan Indonesia merdeka adalah terlepas dari penjajahan Belanda dan korporasi-korporasi-nya, namun Agrarische Wet (UU Belanda tentang Agraria) tetap dimasukan dalam UUPA pasal tentang HGU (Hak Guna Usaha) selama lebih dari 25 tahun” dengan lantang dia berbicara “itu adalah alat kapitalis untuk menancapkan akarnya di negara ini, belum lagi Undang-undang No. 25/2007 tentang Penanaman Modal, UU tentang pengadaan tanah untuk pembangunan, UU No. 18/2003 tentang Perkebunan, UU No 7/2004 Sumber Daya Air, UU No. 27/2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, dan UU No. 4/2009 tentang Mineral dan Batubara” kemudian dia mengutip Chalid Muhammad, mantan direktur eksekutif WALHI (Wahana Lingkungan Hidup Indonesia) “negara tiada lain kecuali pelayan sempurna [jongos] korporasi”.
Joni memaparkan data yang mencengangkan “Tahun 2012 ini, sudah terjadi 101 konflik agraria diseluruh Indonesia dengan luasan areal yang diperebutkan 377.159 hektare dan korban lebih dari 25 ribu keluarga petani menurut Konsorsium Pembaharuan Agraria juni yang lalu”. Aku  sedikit bertanya “Bagaimana pada tahun 2011?” dengan suara pelan sambil tersenyum sinis dia menjawab “itu adalah tahun ‘pembantaian’ petani”. Suasana ramai kampus tiba-tiba menjadi sunyi setelah mendengar Joni mengucapkan itu. “163 kasus konflik agraria dengan 22 petani terbunuh, dan itu fakta”. Dia menutup perbincangan itu dengan sangat ‘dingin’.
Tiga hari di Jakarta, aku berangkat kedaerah-daerah di Pulau Jawa. Sepuluh jam perjalanan, setelah aku lihat di GPS, ternyata aku berada di Kabupaten Banyumas Kecamatan ajibarang. Sebelum meneruskan perjalanan, aku memutuskan untuk sekedar mampir makan di warung Bakso di pertigaan Jalan Raya Ajibarang. Kududuk di sebelah sekelompok orang tua dengan Kaos Hitam, dari perbincangan mereka, semakin membuatku penasaran tentang konflik tanah petani dengan sebuah perusahaan perkebunan. Dengan sedikit kaku aku mencoba bergabung di lingkaran mereka. Dimulai dengan perkenalan, ternyata mereka adalah kelompok Serikat Tani AMPERA (Amanah Penderitaan Rakyat) di Desa Darmakradenan. Mereka sedang berjuang membebaskan tanah garapan yang dimiliki oleh Perusahaan Kebun Cokelat PT. RSA (Rumpun Sari Antan) seluas 227,65 Ha.
Dengan senang mereka manjabarkan kronologi kasus tersebut “Petani butuh tanah garapan, tanah nenek moyang kami yang dijual ke korporasi harus kami rebut!”. Dengan lantang petani itu bicara “Cabut HGU (Hak Guna Usaha) PT. RSA dan Ganyang Setan-setan Desa”. Ternyata perjuangan petani yang berjumlah lebih dari 1.500 orang itu, banyak mengalami tentangan baik dari Korporasi dan Pemerintah maupun dari tuan tanah di Desa Darmakradenan. Satu jam berlalu dengan cepat, tibalah perbincangan terakhir kami, Reforma Agraria sejati menjadi kebutuhan yang mendesak bagi Rakyat. Berenam serentak ucapkan bersama-sama satu kalimat “Bersatu  rebut tanah untuk Rakyat!!
Aku sangat penasaran “apa yang terjadi dengan Indonesia?” dalam sebuah situs Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3EI) 2011-2025, memperlihatkan kepadaku bahwa konsep pembangunan nasional jangka panjang telah direncanakan untuk memposisikan Indonesia sebagai penyedia bahan baku pertanian dan pertambangan bagi kepentingan Negara maju di tandai dengan proyek-proyek industri pangan. Konsekuensi logis untuk sektor pertanian menurut MP3EI adalah pertanian berbasiskan pemenuhan kebutuhan pasar, bukan pertanian subsisten. Tetapi jika aku mengutip perkataan petani STAN AMPERA “Pertanian kami hanya untuk sekedar hidup keturunan kami, tidak meminta lebih” konsep pertanian kapitalistik itu bakal menyingkirkan petani, apalagi buruh tani tanpa tanah.
Dalam lamunan pulangku, “petani di Indonesia ‘bak Ayam mati dilumbung padi”. Catatan harian di Indonesia kututup, “aku adalah orang numpang lewat, orang asing yang tidak merasakan usus-usus kelaparan keluarga buruh tani. Bagaimana bisa mengubah hidup kaum tani? apakah saya bisa mengharapkan orang Indonesia untuk berubah? tapi bagaimanapun kekuasaan rakyat harus dikembalikan pada posisi tertinggi, bukan pada korporasi dan bukan pada pemerintah!”. Salamku pada rakyat Indonesia yang masih merasa nyaman “keadaan nyaman anda bukanlah milik anda, tetapi milik kapitalis dan milik penguasa”.
Hidup Rakyat!
Tegakan Reforma Agraria Sejati!


[1] . Desa di kabupaten Banyumas
[2] . Desa di Kecamatan Balapulang Kabupaten Tegal Jawa Tengah

Written by

We are Creative Blogger Theme Wavers which provides user friendly, effective and easy to use themes. Each support has free and providing HD support screen casting.

0 komentar:

Posting Komentar

 

© 2013 azmyfajar. All rights resevered. Designed by Templateism

Back To Top